Saturday, May 23, 2009

Membangun Relasi dan Respek dengan Alam dan Lingkungan (Perspektif Budaya Suku Dayak)

Oleh: Alue Dohong

Tabu (pantangan) untuk menebang pohon atau membunuh binatang tertentu sangat dikenal dalam struktur masyaralat Suku Dayak Kalimantan Tengah. Misalnya ada binatang yang wujud dan bentuk fisik yang aneh dan diluar kewajaran dilarang untuk dibunuh, karena diyakini hewan merupakan perwujudan dari roh-roh atau mahkluk gaib. Sebagai contoh, ditemukan kijang yang badannya berukuran besar atau rusa yang punya bentuk lain maka tidak akan dibunuh.

Dari perspektif ekologis, tindakan pelarangan (tabu) tersebut merupakan wujud pengangkuan budaya Dayak tentang perlunya melakukan perlindungan terhadap satwa/binatang yang sudah langka (extinct) dan memiliki keragaman hayati sehingga keberadaannya tidak akan punah.

Selanjutnya pohon Beringin (lunuk bahasa dayak) yang besar dan warna kulitnya kemerah-merahan tidak boleh ditebang karena diyakini pohon tersebut sebagai tempat tinggal (bersemayam) roh-roh halus. Apabila seseorang melakukan penebangan terhadap pohon beringin tersebut maka dia akan mendapat “madi” atau terkontaminasi kemarahan roh halus penunggu pohon beringin tersebut sehingga orang itu dipercaya akan jatuh sakit dan tidak jarang membawa pada kematian. Kalau pun pohon lunuk (beringin) mau ditebang, maka biasanya harus minta ijin dulu dengan roh penunggu pohon tersebut. Hal yang sama dengan penebangan pohon ulin tidak sembarangan dilakukan karena dianggap keramat atau berharga khususnya di suku Dayak Kadorih/Dohoi/Ot Danum (Rini, 2005), apabila ada yang melannggarnya diyakini akan jatuh sakit/demam. Tindakan pelarangan (tabu) ini dari aspek konservasi dapat dilihat sebagai upaya perlindungan atau pengawetan terhadap pohon-pohon yang dianggap penting dari sisi konservasi, karena pohon beringin misal merupakan tempat bersarang berbagai burung, ular, semut dan lain-lain.

Relasi kuat antara Suku Dayak dengan alam sekitarnya ditandai dengan konsep dahiang atau alamat/pertanda baik atau buruk (Riwut, 2007). Dahiang merupakan tanda alamat/peringatan bagi Suku Dayak yang disampai lewat gerakan atau suara jenis burung atau hewan tertentu. Peringatan disampaikan pada saat akan hendak melaksanakan kegiatan perang, perjalanan dan lain-lainnya. Kelompok avifauna (burung) yang biasanya dianggap penyampai pesan (messenger) antara lain elang, burung hantu, burung pantis, burung kaut, sedangkan binatang umumnya rusa, kijang, dan kacil.

Konsep dahiang sangat relevan dengan usaha proteksi satwa dalam teori konservasi modern, karena Suku Dayak sangat jarang melakukan kegiatan perburuan terhadap jenis burung yang dianggap penyampai alamat/pertanda (messenger).Memperhatikan praktek kearifan lokal Suku Dayak yang direpresentasikan lewat berbagai konsepsi tindakan ritual, religius dan lain-lain seperti diuraikan diatas, maka nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan budaya tersebut dapat menjadi modal sosial dan pendukung bagi pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Tengah.

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...