Friday, May 15, 2009

Tabat, Penyelamat Lahan Gambut

Sumber: Harian Kompas, Jumat, 25 April 2008 | 00:19 WIB
Oleh Try Harijono dan C Anto Saptowalyono

Suasananya sangat berbeda. Kawasan di sekitarnya sangat sejuk dan serba hijau oleh pepohonan. Padahal, sekitar lima tahun lalu, kawasan eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah sangat panas, gersang, dan nyaris tak ada pepohonan. Hanya ilalang yang tumbuh di kawasan itu.

Perubahan drastis itu tidak terlepas dari dibuatnya sejumlah tabat, yang membendung kanal-kanal. Tabat adalah istilah Dayak untuk menyebut bendungan yang terbuat dari kayu. ”Istilah ini lebih populer di sini dibandingkan istilah bendungan,” kata Alue Dohong, Koordinator Wetland International Site Kalimantan, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memelopori pembangunan tabat.

Gara-gara Orde Baru

Pembangunan tabat itu dilakukan karena keprihatinan akibat rusaknya lingkungan di sekitar Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar. Proyek kontroversial yang dibangun semasa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto ini awalnya dimaksudkan untuk mencetak sawah sejuta hektar di kawasan gambut. Gambut adalah hamparan yang terbentuk dari hasil pelapukan bahan organik seperti serasah daun, ranting dan akar pohon yang membusuk. Sifat gambut seperti busa, yakni menyerap dan menyimpan air.

Proyek ambisius PLG Sejuta Hektar dibangun dengan mengorbankan pepohonan hutan gambut di empat daerah, yakni Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, Barito Selatan, dan Kota Palangkaraya. Untuk pencetakan sawah baru itu dibuat kanal-kanal atau saluran air yang lebarnya 10-28 meter. Harapannya, air Sungai Barito, Kapuas, dan Sungai Mentangai yang berada di sekitar PLG Sejuta Hektar masuk melalui kanal dan mengairi sawah di sekitarnya.

Namun, perhitungan di atas kertas itu meleset jauh. Bukan air sungai yang masuk ke kawasan gambut, justru sebaliknya. Karena salah perhitungan, kawasan PLG Sejuta Hektar justru posisinya lebih tinggi dari permukaan ketiga sungai itu. Akibatnya, gambut yang menyimpan banyak air, secara perlahan-lahan airnya terkuras dan mengalir ke tiga sungai itu. Lahan gambut pun kekeringan dan sering terjadi kebakaran.

”Padahal, jika gambut terbakar akan sangat banyak mengeluarkan asap karena ibaratnya seperti ranting basah yang terbakar,” kata Alue Dohong.

Saat proyek itu dihentikan seiring tumbangnya rezim Orde Baru, yang tersisa hanyalah pohon-pohon yang tumbang dan mengering, ilalang yang tumbuh tinggi, serta kanal yang telantar dan mengering. Tidak tanggung-tanggung, kanal yang sudah dibangun dan telantar ini panjangnya sekitar 4.500 kilometer! Lebih dari empat kali panjang Pulau Jawa.

Membangun tabat

Tabat merupakan salah satu solusi untuk merestorasi kawasan gambut yang sudah telanjur rusak. Cara pembuatannya sederhana, tabat dibangun dari jajaran gayu galam (Meulaluca cajuputi) berdiameter sekitar 20 sentimeter. Untuk memperkuat dari terjangan air, di belakangnya ditumpuk karung berisi tanah liat.

”Membawa tanah liat ke tengah kanal ini tidak mudah karena lokasinya sangat jauh,” kata Alue. Karena itulah tidak heran biaya membangun tabat sangat mahal, Rp 60 juta-Rp 120 juta per unit.

Ketika tabat sudah dibangun dan air mengalir lewat kanal, air tertahan di tabat. Semakin lama, permukaan air semakin tinggi dan meresap ke kawasan di sekitarnya. Lahan gambut pun basah dan menyerap air. Persis seperti busa untuk pencucian mobil yang menyerap air.

Di sepanjang kanal, permukaan air pun semakin tinggi hingga 2 meter. Wetlands International punya cara jitu agar masyarakat sekitar mendapat keuntungan dari kehadiran tabat. Masyarakat secara berkelompok (jumlahnya 10 orang per kelompok) diberi modal Rp 20 juta-Rp 30 juta untuk memelihara ikan di keramba-keramba sepanjang kanal. Karena keramba membutuhkan air, otomatis masyarakat pun akan menjaga kekokohan tabat.

Ada pula masyarakat yang menanam pepohonan, sayuran, dan buah-buahan di sekitar kanal yang gambutnya sudah basah kembali. Karena gambut sudah basah, kebakaran lahan gambut pun sekarang sudah jauh berkurang.

Di sisi lain, justru pepohonan seperti jelutung (Dyera costulata), blangiran, prupuk, dan rasau yang dipelihara masyarakat tumbuh sumbur. Kawasan PLG Sejuta Hektar pun mulai hijau kembali. Kanal yang penuh air juga menjadi tempat hidup sejumlah ikan lokal seperti kapae, pepuyu, dan haruan atau gabus.

Sejak tahun 2004 hingga 2007 sudah 20 tabat yang dibangun di blok A utara kawasan PLG Sejuta Hektar. Setidaknya sudah 20.000 hektar kawasan yang basah, terairi, dan pulih kembali. Masih sedikit memang jika dibandingkan dengan luas kawasan PLG Sejuta Hektar yang rusak. Namun, langkah yang ditempuh sudah benar.

Kepala Badan Pengelola dan Pelestari Lingkungan Hidup Daerah Kalteng Moses Nicodemus menuturkan, tabat merupakan salah cara yang saat ini diadopsi untuk merehabilitasi lahan gambut yang telanjur rusak.

”Pembuatan tabat untuk sementara difokuskan ke kawasan PLG. Diharapkan ini bisa menjadi percontohan untuk merehabilitasi gambut yang rusak di daerah lain,” kata Moses.

Maklum, Kalteng merupakan daerah gambut yang sangat luas. Dari sekitar 8,8 juta hektar lahan gambut di Tanah Air dengan ketebalan lebih dari 2 meter, sekitar 3,1 juta hektar di antaranya berada di Kalteng

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...