Thursday, June 30, 2011

Pemerintah Daerah Seharusnya Dukung BK

30-06-2011 00:00

Harian Umum Tabengan,


Polemik keinginan Pemko Palangka Raya untuk menempatkan dana pemerintah daerah (pemda) ke Bank lain di luar Bank Kalteng (BK) mendapat respons kalangan akademisi. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota harus mendukung pengembangan lembaga keuangan perbankan daerah seperti BK, karena didasari alasan dan pertimbangan ekonomis dan etika-moral.

Alue Dohong, dosen Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (Unpar) dalam rilis yang diterima Tabengan, Rabu (29/6), mengatakan, pertimbangan ekonomis berupa return (bunga) tinggi atas imbal penempatan investasi hendaknya bukan menjadi satu-satunya determinan yang menjadi perhitungan pemda, melainkan pertimbangan etika-moral.

Pertimbangan ekonomis dan etika moral itu, antara lain, BK merupakan aset daerah untuk mendukung dan memperkuat struktur perekonomian di daerah. Melalui pengembangan jaringan dan jangkauan layanan di seluruh Kalteng, menunjukkan BK telah berkontribusi cukup signifkan terhadap pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kalteng dan kabupaten/kota.

Karena itu, perlu dipupuk rasa memiliki serta dukungan nyata terhadap keberadaan dan perkembangan aset daerah itu. Kemudian, sebagai pemegang saham di BK, selain memperoleh return berupa bunga atas penempatan fresh money di rekening giro daerah, pemda selaku pemegang saham juga memperoleh penghasilan lain berupa dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham yang didistribusikan setiap akhir tahun buku.

Kemudian, ada kemungkinan penempatan dana daerah di lembaga perbankan atau keuangan non-BK akan mendorong terjadinya capital outflow keluar Kalteng, karena bank korporasi nasional umumnya mendiversifikasi asetnya ke berbagai aktiva derivatif (obligasi, asuransi, SUN, dan lain-lain) yang umumnya tidak tersedia di Kalteng.

“Dengan demikian, dana pemda justru dinikmati oleh daerah lain sehingga secara etika dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang kurang mendukung terhadap pembangunan daerah,” kata Alue.

Menurutnya, dana pemda merupakan dana publik dan bukan milik pribadi pemimpin daerah. Penempatan dana publik itu ke bank lain atau lembaga keuangan non-bank di luar BK seharusnya mendapatkan persetujuan dari DPRD selaku representasi dari publik.

Memerhatikan berbagai pertimbangan ekonomis dan etika-moral itu, Alue mengingatkan kepala daerah agar mempertimbangkan kembali niat untuk tidak menempatkan dana daerah di BK. Prinsip investasi do not put all eggs in one basket (‘jangan menaruh semua telur dalam keranjang’), nampaknya tidak relevan untuk pemda. “Sebab, posisinya memang bukan sebagai investor atau fund manager dari dana publik yang dipercayakan kepadanya untuk dikelola demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” pungkas Alue.str

Friday, June 24, 2011

IMPLEMENTASI REDD, MASYARAKAT HARUS DILIBATKAN

LAST_UPDATED2 Selasa, 28 Desember 2010

Jika implementasi Program Reducing Emissions from Deforestation andDegradation (REDD) yang digagas pemerintah RI bisa tercapai, maka masyarakat sekitar harus dilibatkan secara maksimal.  Pelibatan masyarakat harus dari perencanaan, monitoring, dan evaluasi.

Demikian benang merah yang

bisa di tarik dari hasil Dialog dan Lokakarya kebijakan Program Perubahan Iklim, REDD dan Hak Masyarakat Adat, yang diselenggarakan Pemprov Kalimantan Tengah bekerja sama dengan Aliansi masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng, LSM HUMA, dan LSM Petak Danum di Aula Eka Hapakat, Kantor Gubernur Kalteng, Kamis-Jumat (16-17/12/2010).

Alue Dohong, dari Dewan Daerah perubahan Iklim (DDPI) Kalteng mengatakan, Peran Masyarakat Adat (MA) dalam konteks REDD agak sulit bila dalam bentuk tertulis, namun adanya pengakuan tanpa adanya normative dinilai akan berdampak positif.  “Salah satu solusinya adalah MA dilibatkan secara maksimal,” tegasnya.

Sementara ketua Centre for International Co-operation in Sustainable Management of Tropical Peatlands (CIMTROP) Universitas Palangka Raya Suwido H. Limin berpandangan, melihat dari tujuan program REDD secara teoritik sangat baik dan mulia, karena mempertimbangkan kepentingan dan kelangsungan hidup manusia dan stabilitas daya dukung alam.

Namun dia meragukan implementasi di lapangan bisa berjalan dengan baik.  Berdasarkan pengalaman selama ini berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan alam, teori kerap tidak dapat diimplementasikan sehingga tujuan pun tidak tercapai.

“Ini disebabkan adanya perbedaan konsep tentang kepentingan, keinginan, dan kebutuhan antar dunia internasional, nasional, dan regional,” katanya.

Sacara Nasional ada PERMENHUT No.30/ 2009 yang tidak menjamin masyarakat adat di daerah tanah Dayak dapat berperan dan terlibat dan berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis jasa lingkungan tersebut.  Walaupun pelaku REDD boleh masyarakat pengelola hutan hak adat, tetapi status hutan adat harus memiliki salinan SK menteri dan adat yang dapat diajukan untuk program REDD harus mendapat persetujuan menteri kehutanan.

PLT sekretariat daerah Kalteng Siun Jarias memiliki pandangan sama.  Dia menekankan agar kelembagaan adat harus diperkuat, di samping memperkuat kualitas sumber daya manusia.  Siun yang juga Sekretaris Majelis Adat Dayak nasional (MADN) ini mengungkapkan rasa keprihatinannya terkait persoalan tanah-tanah adat, yang menurutnya apakah menjadi milik perorangan atau status kepemilikan bersama.  “Ini terkait dengan pemanfaatan oleh warga kita,” katanya.

Mumu dari HUMA menyampaikan pandangan berbeda.  Menurutnya dalam program REDD, Masyarakat adat sangat rentan sebagai objek, ini karena belum adanya mekanisme pemberian dana itu secara langsung kepada masyarakat adat.  “Saat ini kementerian keuangan akan membuat rancangan mengenai hal ini, REDD akan masuk dalam keuangan atau administrasi Negara, bagaimana masyarakat lokal bisa mengakses ini, “katanya dengan nada Tanya.

Dia juga mengkritik program REDD yang menurutnya justru ada kebijakan lain yang bersifat deforestrasi.  Dia mencontohkan kebijakan pemberian izin untuk perkebunan besar swasta sawit.

Sumber : Tabengan. Sabtu, 18 Desember 2010. Halaman 4.

Tuesday, June 21, 2011

UNPAR’s Peat Scientists and Practitioners Reject KFCP’s Plan to Use Heavy Equipment in Implementing Hydrological Rehabilitation in the Ex Mega Rice Project

Press Release

The plan of Kalimantan Forests and Climate Project (KFCP) a project funded by AusAID Australia to implement a hydrological rehabilitation (canal blocking) through deployment of heavy equipment such excavators in the Block A and E of the ex Mega Rice Project (ex-MRP) in Central Kalimantan receive opposition and rejection from peat scientists and practitioners of the University of Palangka Raya (UNPAR) and those local experts demand the plan should be abandoned as well as argue the district, provincial and central governments to cancel the KFCP as a REDD demonstration activity if the project sticks with their plan to do so.

Rejection is based upon scientific and technical considerations as well as potential negative impacts in terms of ecological, economic and social aspects that may occur if the plan is still implemented on the ground.

From scientific point of view, hydrological rehabilitation activity using excavators to close or blocking open canals through excavating or using peat or organic matters that are currently available on the existing canals embankments as well as other wood debris is considered as less scientific justification and lack of experience methods. It is acknowledged that a similar technique has been tested limitedly by a private sector in Sumatera, but it’s successful and effectiveness has not been scientifically proven. In addition, the peat ecosystem as well as its physical characteristics in Sumatera is different from peat in the ex-MRP of Central Kalimantan, hence, similar hydrological rehabilitation method may not yield same outcomes.

From engineering perspective, blocking and filling up of open canals by utilizing existing peat organic matters volume available on the canal banks will no longer enough to refill or close entirely the existing open canals as the availability of peat matters on the canal levee is currently very minimum due to subsidence, decomposition and depletion result from previous repeated fires in the area. As consequences, new peat refill needs to be excavated from other sites so as to fulfill the refill shortage which means closing old canals, by digging new canals. Apart from that, existing peat organic matters on canal banks have experienced irreversible shrinking due to repeated dry seasons and hence, it has lost its water absorption capacity. In addition, a plan to use existing wood debris and dead wood is also seen as ineffective means and wasting efforts as the existing debris and dead wood volumes are very limited.

Deployment of excavators in the hydrological rehabilitation (canal blocking) activity in the block A and E of the ex-MRP is predicted to impose negative impacts in terms of ecological, economic and social.

In terms of ecological, utilization of excavators in the hydrological rehabilitation will possibly create negative impacts as follows:

Firstly, excavator’s track and pathway will accelerate the process of peat subsidence and peat compaction leading to increasing of GHGs emission release and will hinder natural regeneration, which at the end, could slow down the carbon sequestration rate in the area;

Secondly, mobilization and movement of the excavators will destroy existing vegetation species and natural regeneration that already established in the areas, both along the canal levees and canal courses;

Thirdly, mobilization and movement of the excavators will disturb aquatic biota and vegetation that are already naturally regenerated and established both within the Blok A and E of the ex-MRP;

Fourthly, utilization of wood debris and dead wood to refill the open canals is potentially accelerated the release of GHGs emissions or loss of standing dead biomass due to do later on use for other purposes such as firewood, charcoal, building material or loss due to fire incidence;

Fifthly, the excavation of peat organic matters from canal embankment in order to refill the open canals is potentially led to increase sedimentation rate at both Mantangai and Kapuas Rivers as mostly both block A and B areas are routinely inundated during peak rainy season so that it is worried that peat matters will flow out to the downstream rivers. This situation will increase sedimentation rate of both rivers and at the end will exacerbate river pollution, which is potentially disturbed the aquatic ecosystem.

From economic and social perspectives, utilization of excavators in hydrological rehabilitation will contra-productive and will potentially raise negative impacts, such as:

Firstly, activity of hydrological rehabilitation that uses heavy equipment (capital incentive) will reduce opportunity of the local labors involvement in the KFCP program. This situation is not suitable and contradictory with the 3Es (effective, efficient & equity) principle as core objective of REDD activity; and

Secondly, mobilization and movement of excavator will potentially create social tensions between project and local landowners. Many villagers have planted crops and other commercial trees in their respective lands as well as in the adjacent canals, thus, the excavator pathway and movement within such areas will potentially destroy existing crops and trees.

Lack of Respect Upon Traditional Wisdom Technology

Implementation of hydrological rehabilitation through operating of heavy equipment such as excavator is seen as less effective and inefficient ways compared to the traditional dam (traditional called TABAT) system ones. CIMTROP’s UNPAR as well as other NGOs have practiced the traditional dam system in restoring peat hydrology for years in Central Kalimantan and this traditional dam technology is proven very effective and efficient ways as well as gains successful in restoring peat hydrology.

Therefore, current proposed KFCP’s hydrological rehabilitation method could be seen as lack of respect and acknowledgement upon the traditional knowledge and technology that have been traditionally practiced in the region. KFCP’s reliance on the capital-intensive method is not only considered as ineffective and inefficient as well as a way of wasting money, but also could possibly create negative impacts to the existing peatland ecosystem.

Considering those aforementioned factors as well as its potential negative impacts that is likely to emerge, hence, UNPAR’s peat scientists and practitioners recommend the following points:

1. KFCP’s plan to do hydrological rehabilitation by using excavator in the Block A and E of the ex-Mega Rice Project much be cancelled;

2. Urge the governments of Kapuas District and Central Kalimantan Province as well as Central Government to re-examine whether or not the Project has conducted appropriate and deep Environmental Impact Assessment (EIA) study upon its hydrological rehabilitation plan. If EIA study has been completed, it is highly recommended to do re-examination and re-evaluation upon the study result; and

3. If the project is stick with its original plan to implement the hydrological rehabilitation through the deployment of heavy equipment (excavator), hence, it is recommended that both provincial and central governments need to carry out overall evaluation upon the implementation of KFCP as REDD demonstration activity in the ex Mega Rice Project, as it is seen that their hydrological rehabilitation interventions against the efforts of protecting peatland and curbing emissions released from this fragile ecosystem.

Palangka Raya, 20 June 2011.

Representatives of UNPAR’s Peat Scientist and Practitioners:

Dr. Ir. Suwido Limin, MS

Mr. Alue Dohong

Dr.Ir. Uras Tantulo, M.Sc

Dr. Darmae Nasir, M.Si, MA

Dr. Yanetri Asi, SP, MP

Dr. Ir. Adi Jaya, M.Si

Para Ahli dan Praktisi Gambut Universitas Palangka Raya Menolak Rencana KFCP untuk Menutup Kanal di Eks PLG Menggunakan Alat Berat (Excavator)

Press Release:

Rencana Kalimantan Forests and Climate Project (KFCP) yang didanai Pemerintah Australia (AusAID) untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hidrologi (penutupan kanal) di kawasan Blok E dan Blok A Utara eks Proyek Lahan Gambut 1 Juta Hektar (PLG) dengan menggunakan alat berat excavator (Pengumuman Lelang, Tabengan, 20/06/11) mendapat penolakan dari para ahli dan praktisi Gambut Universitas Palangka Raya (UNPAR) dan mereka meminta rencana tersebut agar dibatalkan serta meminta pihak Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk menghentikan kegiatan proyek KFCP yang merupakan kegiatan demonstrasi REDD apabila intervensi rehabilitasi hidrologi menggunakan alat berat (excavator) tetap dilaksanakan oleh pihak proyek.

Penolakan didasari atas pertimbangan ilmiah, teknis dan potensi dampak negatif secara ekologis, ekonomis dan sosial yang akan timbul, apabila rencana tersebut tetap dilaksanakankan oleh KFCP.

Secara ilmiah kegiatan rehabilitasi hidrologi dengan menutup kanal-kanal terbuka dengan memindahkan/menggunakan sisa materi bekas galian gambut yang tersedia pada tanggul kanal yang ada saat ini serta pemanfaatan bekas serasah kayu/pohon mati dengan menggunakan excavator, tidak didasari atas kajian dan pengalaman ilmiah yang cukup. Penerapan metode rehabilitasi hidrologi serupa memang pernah dilaksanakan oleh perusahaan swasta di Sumatera, namun tingkat keberhasilan dan kesuksesannya secara ilmiah belum dapat dibuktikan, lagi pula kondisi fisik dan ekosistem gambutnya relatif agak berbeda dengan yang ada di wilayah eks PLG.

Secara teknis penutupan kanal terbuka dengan menggunakan sisa volume materi gambut yang terdapat pada tanggul kanal, tidak akan mampu menutupi ruang kanal terbuka yang ada, karena ketersediaan materi gambut pada tanggul sudah sangat minimum, karena telah mengalami proses deplesi, dekomposisi dan hilangnya lapisan gambut akibat peristiwa kebakaran yang berulang di wilayah tersebut. Konsekwensinya, harus dilakukan penggalian materi gambut baru guna menutupi kekurangan materi tersebut, yang berarti kembali menerapkan gali kanal tutup kanal dengan excavator. Disamping itu, materi gambut yang tersisa pada tanggul kanal saat ini sudah mengalami proses pengeringan tak balik (irreversible shrinking), karena musim kemarau yang berulang, sehingga tidak akan efektif untuk menutup kanal terbuka yang ada, karena materi gambut yang demikian fungsi penyimpanan airnya sudah hilang. Selain itu, penggunaan sisa serasah dan kayu mati yang terdapat dilokasi, diperkirakan tidak akan banyak membantu karena ketersediaan volume juga sangat terbatas.

Penggunaan excavator di dalam kegiatan rehabilitasi hidrologi (penutupan kanal) di wilayah blok A Utara dan Blok E, diprediksi akan berdampak negatif secara ekologis, ekonomis dan sosial.

Secara ekologis, kemungkinan dampak negatif yang akan timbul antara lain:

Pertama, penggunaan excavator akan menyebabkan akserelasi pengamblesan (subsidence) dan pemadatan (peat compaction) tanah gambut yang menjadi jalur mobilisasi dan pergerakan excavator. Subsidensi dan pemadatan gambut akan berdampak negatif terhadap laju pelepasan carbon dan berpotensi mengganggu/menghambat proses regenerasi alami yang berarti menghambat sekuestrasi karbon;

Kedua, mobilisasi dan pergerakan alat berat (excavator) akan merusak vegetasi atau regenerasi alami species tumbuhan yang sudah tumbuh di wilayah blok A dan dan Blok E, baik yang sudah tumbuh diatas dan di sepanjang tanggul kanal maupun yang terdapat pada jalur kanal;

Ketiga, mobilisasi dan pergerakan excavator diperkirakan akan mengganggu keberadaan biota dan vegetasi perairan yang sudah mulai mengalami regenerasi dan pemulihan di kawasan blok E dan Blok A Utara.

Keempat, penggunaan materi bekas seresah dan kayu mati sebagai bahan timbunan untuk menutup kanal diperkirakan berpotensi untuk melepas karbon/biomasa yang tersimpan pada kayu mati (dead biomass) karena berpotensi untuk diambil/dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti kayu bakar atau kemudiaan terbakar;

Kelima, pemindahan sisa materi gambut dari tanggul kanal untuk menutup kanal diperkirakan berpotensi untuk meningkatkan laju sedimentasi sungai Mantangai dan sungai Kapuas karena pada wilayah yang akan dilakukan rehabilitasi hidrologi secara rutin mengalami banjir/genangan yang tinggi pada puncak musim hujan, sehingga diperkirakan materi gambut dan kayu mati akan banyak terbawa arus keluar ke wilayah hilir. Kondisi ini akan ikut memperparah kerusakan/polusi sungai Mantangai dan Kapuas yang pada gilirannya akan mengganggu ekosistem perairan pada kedua sistem DAS tersebut.

Secara ekonomis dan sosial, penggunaan alat berat seperti excavator di dalam kegiatan rehabilitasi hidrologi justru kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan dampak negatif antara lain:

Pertama, pendekatan rehabilitasi hidrologi yang bersifat capital intensive justru menegasi peluang dan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam kegiatan KFCP. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip 3Es (effective, efficient & Equity) yang menjadi roh dalam implementasi kegiatan REDD; dan

Kedua, mobilisasi dan pergerakan alat berat excavator akan berpotensi menimbulkan gesekan dan konflik dengan masyarakat pemilik lahan setempat, karena mobilisasi alat berat akan berpontensi merusak tanaman/tumbuhan milik masyarakat lokal yang sudah tumbuh baik.

Tidak Menghargai Kearifan Teknologi Lokal

Penerapan teknologi rehabilitasi hidrologi dengan menggunakan alat berat seperti Excavator, justru dianggap tidak efektif dan efisien, sementara teknologi rehabilitasi hidrologi melalui sistem penabatan tradisional sudah dipraktekan baik oleh CIMTROP Universitas Palangka Raya maupun kelompok masyarakat di Kalimantan Tengah, dimana menunjukkan tingkat keberhasilan yang relatif tinggi dalam artian lebih efektif dan efisien.

Dengan demikian program rehabilitasi hidrologi yang dijalankan dianggap tidak menghargai pengetahuan dan kearifan teknologi lokal yang sudah dipraktekan selama bertahun-tahun oleh tenaga ahli dan masyarakat lokal. KFCP justru mengandalkan teknologi asing dan padat modal yang belum tentu efektif dan efisien serta berpontensi berdampak negatif terhadap kawasan gambut.

Memperhatikan berbagai potensi dampak negatif yang akan ditimbulkannya, maka para ahli dan praktisi gambut Universitas Palangka Raya (UNPAR), merekomendaskan:

1. Agar rencana kegiatan rehabilitasi hidrologi dengan menggunakan excavator di wilayah blok A dan Blok E eks PLG dihentikan;

2. Agar Pemerintah Kabupaten Kapuas, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Pusat meneliti kembali apakah rencana kegiatan rehabilitasi hidrologi tersebut sudah ada rencana AMDAL atau tidak. Apabila sudah ada kajian AMDAL, maka kajian tersebut harus dilakukan penilaian kembali (reassessment);

3. Apabila rencana rehabilitasi hidrologis dengan menggunakan alat berat terus dilakukan, diminta agar Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kegiatan demontrasi REDD yang justru diperkirakan kontra produktif terhadap perlindungan gambut serta bertentangan dengann tujuan pengurangan dan pencegahan emisi karbon secara umum.

Palangka Raya, 21 Juni 2011.

Ttd,

Para Ahli dan Praktisi Gambut UNPAR

Dr. Ir. Suwido Limin, MS

Alue Dohong, M.Sc

Ir. Uras Tantulo, M.Sc

Dr. Darmae Nasir, MA

Dr. Yanetri Asi, SP,MP

Dr.Ir. Adi Jaya, MS

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...