Oleh: Alue Dohong
Di dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah usaha dan upaya konservasi dan perlindungan terhadap sumberdaya alam beserta dengan keanekaragamannya sudah dipraktekkan secara turun temurun bahkan boleh dikatakan lahir bersamaan dengan kehadiran peradaban suku Dayak itu sendiri. Citra Manusia yang bercirikan sosio religio magis dalam fikrian orang Dayak, pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku yang religius dalam bentuk praktek pengelolaan sumberdaya hutan secara arif dan bertanggung jawab.
Konsepsi konservasi dan perlindungan flora dan fauna pada Suku Dayak dapat ditelusuri melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, Pukung himba dan lain-lainnya. Makna terminologi dan relevansinya dengan usaha dan upaya konservasi modern diuraikan sebagai berikut:
Tajahan
Tajahan merupakan suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak khususnya yang beragama Kaharingan. Dilokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil sebagai tempat untuk menaruh sesajen sebagai tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam ditempat itu. Rumah kecil tersebut biasanya disertai dengan beberapa patung kecil yang merupakan simbol atau replika dari anggota keluarga yang sudah meninggal dan roh orang meninggal tersebut diyakini berdiam dalam patung-patung kecil tersebut sehingga tidak mengganggu anggota keluarga yang masih hidup.
Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan yang masih lebat dan terkesan angker dan sebab itu biasanya pada lokasi tempat tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan kegiatan konservasi karena didalamnya terdapat aspek perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati.
Kaleka
Kaleka merupakan daerah peninggalan nenek moyang Suku Dayak jaman dahulu kala yang biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan bersama (common property). Dari perspektif konservasi ekologis, kelaka dapat dipandang sebagai gudang plasma nuftah (genetic pool).
Sepan-Pahewan
Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani dan oleh sebab itu lokasi tersebut umumnya selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.
Pukung Himba
Pukung himba adalah bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi karena fungsinya sebagai lokasi untuk pemindahan roh-roh halus (Gana dalam bahasa Dayak Ngaju) dari daerah/kawasan yang akan dijadikan ladang.
Setiap kaum peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah memahami betul bahwa di dalam kegiatan pembukaan ladang, harus ada kawasan hutan yang harus dicadangkan sebagai tempat untuk memidahkan roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi yang akan dijadikan ladang ke lokasi baru yang dalam bahasa Dayak Ngaju sering disebut dengan pukung himba. Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat yang disenangi roh-roh (gana) untuk tempat bermukim.
Keberadaan dan konsep pukung himba dari perspektif konservasi merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati didalamnya.
No comments:
Post a Comment