Saturday, September 23, 2006

Potret Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan di Sungai Mantangai

Pendahuluan
Mantangai adalah satu nama sungai di Kabupaten Kapuas, yang dulunya merupakan salah lumbung ikan untuk Kabupaten Kapuas dan sekitarnya. Sungai dengan panjangnya mencapai ± 64 km, terletak di wilayah administrasi Kecamatan Mantangai. dapat di telusuri selama ± 3 - 4 jam perjalanan menggunakan klotok (perahu kecil memakai mesin berkapasitas 5-10 orang). Bagian muara sungai lebarnya mencapai 30 - 40 m, lebih kearah hulu lebar sungainya cenderung menyempit berkisar antara 10 – 20 meter dan bahkan ada bagian yang hanya selebar kurang dari 1 meter dan hanya mampu dilalui kelotok atau perahu berukuran kecil. Hal ini terjadi karena perkembangan tumbuhan rasau yang mengarah pada bagian tengah sungai sehingga memiliki kecenderungan menutupi badan sungai.
Penduduk yang yang bermukim di sepanjang sungai Mantangai umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan kehidupan mereka sepenuhnya sangat tergantung dengan sumber ikan yang terdapat di Sungai Tersebut.
Bagaimana sebenarnya potret kondisi sosial-ekonomi para nelayan Sungai Mantangai yang sebenarnya. Tulisan berikut mencoba untuk menyajikan secara faktual kondisi sosio-ekonomis kehidupan para nelayan Sungai Mantangai rangkuman hasil wawancara yang dilakukan dengan 22 orang nelayan daerah tersebut yang dipilih secara acak pada bulan Juni 2004..

Potret Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan Sungai Mantangai
Gambaran tentang kondisi sosial ekonomi nelayan Sungai Mantangai ditelusiri dari faktor-faktor sosial ekonomi seperti kondisi fisik perumahan, tingkat pendidikan, sumber dan jumlah pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, teknologi penangkapan dan pengetahuan tentang teknik budidaya ikan.
Hampir 82% nelayan Sungai Mantangai ternyata hanya memiliki latar belakang pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar dan Tamat Sekolah Dasar, sedangkan yang berhasil menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat tidak lebih dari 9% dan bahkan sekitar 9% nelayan diketahui tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Rendahnya tingkat pendidikan para nelayan diperkirakan disebabkan oleh beberapa sebab antara lain (i) minimnya penghasilan dari menangkap ikan; (ii) akses ke sarana pendidikan yang relatif sulit; dan (iii) persepsi yang keliru dari para nelayan akan arti pentingnya pendidikan.
Pola penyebaran pemukiman para nelayan berada disepanjang Sungai Mantangai dan umumnya berkelompok seperti kelompok Mantangai Hilir, kelompok Jayanti, Danau Uju, Gajah dan danau Telo dengan total kepala keluarga sebanyak 22 atau 60 orang anggota keluarga. Kondisi fisik perumahan mereka umumnya terbilang sangat sederhana dengan bahan utama dari kayu tidak tahan lama dan beratap daun rumbia dan bahkan dari plastik dan hanya satu unit rumah yang beratap seng. Rumah para nelayan berukuran rata-rata 4 x 4 meter (16 m2) dengan luas tanah berkisar antara 20-25 m2, kendati sebetulnya para nelayan memiliki keleluasaan untuk membangun rumah disepanjang alur Sungai Mantangai. Usia rumah para nelayan tidak lebih dari 5 tahun dan setelah itu harus dilakukan perbaikan. Dari wawancara diperoleh informasi sekitar 68% bangunan rumah nelayan yang ada berumur 4-6 tahun dan sisanya berusia 1-3 tahun serta tidak diketemukan rumah yang berusia fisik diatas 7 tahun.
Usaha menangkap ikan di Sungai Mantangai ternyata dilakukan secara turun temurun oleh para nelayan. Hal ini terlihat dari lamanya waktu mereka bermukim diwilayah tersebut, dimana lebih dari 85% nelayan bermukim rata-rata diatas 5 tahun dan bahkan ada 15% nelayan menyatakan bermukin lebih dari 10 tahun di wilayah tersebut.
Hampir seluruh nelayan memiliki dan menggunakan perahu tanpa mesin (jukung) dan perahu bermesin (kelotok) dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan dan hanya dua orang nelayan yang mengaku tidak memiliki perahu bermesin. Sementara itu alat tangkap yang digunakan para nelayan umumnya alat tangkap tradisional seperti Tampirai, Bubu (kawat dan bambu), Rengge, Rawai, Pancing/Banjur, Pangilar, Kabam, dan Haup. Sedangkann jenis ikan yang dominan tertangkap antara lain Tampahas (tapah), Tahoman (toman), Kerandang, Kakapar (kapar), Miau, Tabakang, dan Baung.
Tingkat pendapatan para nelayan ternyata sangat fluktuatif dan tergantung dengan kondisi musim. Musim banjir tangkapan umumnya terjadi pada awal musim kemarau dan musim banjir yakni antara bulan September hingga Januari setiap tahunnya. Hasil tangkapan pada musim banjir ikan umumnya mencapai 2 atau 3 kali lipat dibandingkan pada musim-musim biasa. Pada musim biasa nelayan hanya mampu memperoleh hasil tangkapan rata-rata 30 kg per bulan atau senilai Rp. 300.000,-/bulan, sedangkan pada musim banjir ikan rata-rata mereka dapat memperoleh 70 kg per bulan dengan harga rata-rata Rp. 9.000,- per kg, maka penghasilan per bulannya untuk setiap nelayan mencapai Rp. 630.000,-. Hasil tangakapan ikan rata-rata per rumah tangga nelayan tahun 2003 adalah sebanyak 562 kg, jumlah ini kalau dikonversi (dijual) setara dengan Rp.5.210.000,-. Berarti perolehan tiap bulan rata-rata adalah sebanyak 46,8 kg atau kalau dijual menjadi sebesar Rp.434.167,-. Kalau dihitung secara kasar jumlah penghasilan kotor rata-rata per bulan rumah tangga nelayan adalah sebesar Rp. 434.167,-. Sedangkan pendapatan dari usaha dan kegiatan lain sama sekali tidak ada.
Pola pemasaran hasil hasil ikan tangkapan umumnya bersifat lokalistik yaitu dijual ke pasar Desa/Kelurahan terletak di Mantangai ibu kota Kecamatan dengan jarak tempuh antara 30 – 64 km atau ke desa-desa lain sekitarnya. Pola lain adalah dijual kepada salah seorang pedagang pengumpul yang juga menetap sebagai nelayan setempat. Selisih harga jual antara pedagang pengumpul dengan harga di pasaran Desa Mantangai berkisar antara Rp. 1.000-Rp. 3.000/kg, sehingga apabila jumlah ikan yang dijual sendiri ke Mantangai sedikit (< 20 kg) maka sangat tidak menguntungkan karena tidak dapat menutup biaya transportasi yang dikeluarkan.
Pola pemanfaatan pendapatan para nelayan umumnya digunakan sebagian besar (50%) untuk membeli kebutuhan pokok yang bersifat subsisten berupa pangan sedangkan sebagian kecil sisanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan papan dan pembelian alat tangkap. Dari wawancara diketahui bahwa rata-rata pengeluaran per rumah tangga nelayan perbulan sekitar Rp. 400.000,-.
Tingkat pengetahuan para nelayan terhadap teknik budidaya ikan menetap ternyata sangat minim.bahkan bisa dikatakan tidak ada. Padahal mereka sangat berkeinginan untuk melakukan kegiatan budidaya menetap dan sangat berharap dikemudian ada pihak yang peduli dan mendengarkan keluhan mereka. Semoga!!.

Durban City, Afrika Selatan

Wednesday, September 20, 2006

Makna Konpensasi BBM bagi Pak Umin Sang Nelayan Sungai Mantangai

Hiruk pikuk masalah konpensasi Bahan Bakar Minyak (BTL-KKB) beserta berbagai pernik-pernik kegirangan dan kekecewaan seputar distribusinya diberbagai daerah di Indonesia, ternyata dimata Pak Umin seorang nelayan di Sungai Mantangai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah tidak punya pengaruh dan makna apapun.
Bahkan mengetahui adanya istilah konpensasi BBM saja pak Umin baru mengetahui ketika penulis menanyakan kepada beliau apakah ada memperoleh dana konpesasi BBM yang sedang ramai diperbincangkan dan diperebutkan oleh teman-teman senasib dan sependeritaan dirinya. Mendengar istilah “konpensasi BBM” saja baru sekarang, sapa pak Umin, boro-boro mendapat dan menerima dana yang notabene untuk kaum kurang mampu dan tidak berkecukupan tersebut’, tambahnya..
Kehidupan pak Umin dapat dikatakan semakin terpuruk dengan adanya kenaikan BBM yang baru-baru ini diputuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Seandainya kenaikan BBM tersebut tidak serta merta diikuti oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok hidup lainnya, tentu saja kenaikan harga BBM mungkin tidak terlalu dipersoalkan Pak Umin. Tetapi kenyataan yang terjadi justru kenaikan harga BBM telah menjadi justifikasi dan alat pemicu bagi para pedagang/penjual kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan pak Umin untuk menaikkan harga-harga dengan seenaknya.
Kesedihan dan kepiluan sang nelayan yang hanya memiliki perahu atau “jukung” ukuran kecil dan rumah berukuran 3 x 2 m dengan atap daun rumbia, lantai dan dinding papan kayu alakadarnya, manakala mendengar ada istilah konpensasi BBM yang diperuntukkan bagi kaumnya, namun tidak pernah dinikmati atau sampai ketangan yang berhak menerima seperti dirinya. Nilai Rp. 300.000,- memiliki makna dan nilai yang sangat besar bagi sang nelayan yang harus berjuang siang malam hanya untuk memperoleh hasil tangkapan ikan rata-rata 2 kg/hari guna menopang kehidupan diri beserta keluarganya sehari-hari. Nilai rupiah tersebut diatas menjadi tidak bermakna apa-apa manakala hanya nilai imaginer yang terdengar sampai ketelinganya dan bukan lembaran-lembaran rupiah nyata seperti yang ramai diperebutkan oleh rekan sesamanya. Masih beruntung pak Umin hanya menggunakan perahu kecil yang menggandalkan tenaga untuk menggerakkannya sehari-hari. Dapat dibayangkan seandainya perahu tersebut menggunakan mesin yang digerakkan oleh BBM, sudah pasti kehidupan pak Umin dan keluarga akan jatuh terperosok lebih dalam lagi ke jurang kemiskinan, ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Hampir lebih dari sepuluh tahun ini pak Umin dan keluarganya menggantungkan hidupnya dari kegiatan mencari ikan di Sungai Mantangai yang merupakan ekosistem perairan gambut. Namun dari tahun ke tahun hasil tangkapan semakin menurun dan tidak menentu seiring dengan semakin rusaknya ekosistem hutan rawa gambut yang berada di wilayah sungai tersebut. Kondisi hasil tangkapan amat sangat merosot drastis dirasakan pak Umin setelah dibukanya proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar. Ikan semakin langka untuk ditangkap dan hasil tangkapan semakin menurun jumlahnya dan ditambah lagi cara-cara penangkapan ikan secara tidak bijaksana yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab turut memperparah keadaan. Kesulitan dan penderitaan hidup yang dialami oleh pak Umin dan keluarga lebih kurang lima tahun belakangan ini menjadi sempurna dan lengkaplah dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah yang mencapai ratusan persen jumlahnya.
Mungkin dibenak nelayan berusia 58 tahun ini ingin berontak dan melawan atas keadaan yang seakan-akan terus menghimpit kehidupan diri dan keluarganya, tapi apa dinyana rintihan suara, kepiluan dan aspirasi pak Umin seperti terhalang tembok besar dan tinggi sehingga tidak pernah terdengar atau sampai ke pihak-pihak yang berkompeten dengan perjuangan nasib kaum kurang beruntung seperti pak Umin. Atau mungkin saja rintihan dan keluhan beliau sampai ke pihak berkompeten tersebut, namun mata dan telinga mereka seolah-olah tertutup rapat dari keluhan dan penderitaan yang dialami oleh si nelayan ini.Akhirnya dari pada hanya berhayal untuk mendapatkan dana konpensasi BBM yang nggak jelas jeruntungya, pak Umin terpaksa harus terus mendayung perahu “jukung” kecilnya untuk berpacu mengatasi penderitaan dan keterperosakan hidup yang dialami. Dan pak Umin pasti sadar bahwa masih banyak saudara-saudaranya yang lain yang senasib dan sependeritaan dengan dirinya serta sembari berharap masih ada orang yang berhati nurani dan peduli dengan nasib yang mereka alami. Semoga.

Diskursus Urgensi Peraturan Daerah tentang DAS di Kalimantan Tengah

Memperhatikan kondisi ekosistem sebelas Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan signifikansi gangguan dan penurunan kualitas yang cukup serius dari waktu ke waktu, maka diskursus perlunya Peraturan Daerah tentang Daerah Aliran Sungai di Provinsi Kalimantan Tengah memperlihatkan momentumnya.
Penurunan kualitas ekosistem DAS terutama kerusakan sempadan sungai dan sempadan banjir (flood plain), kahancuran alur sungai, penurunan kualitas air sungai dan hancur kawasan penyangga DAS menyebabkan interaksi dan relasi sosial antara masyarakat (baca: manusia) Kalimantan Tengah dengan sungai-sungai yang ada semakin retak. Interaksi sosial antara masyarakat dan sungai dulunya begitu erat, dimana sungai dianggap sebagai sumber aktivitas penghidupan sehari-hari seperti sumber air minum, mandi, cuci, tempat untuk mencari ikan, media transportasi dan sumber penghidupan lainnya. Kini interaksi dan relasi sosial tersebut kian merenggang bahkan cenderung terjadi distorsi. Persepsi dan apresiasi masyarakat khususnya terhadap kualitas air sungai beserta biota yang hidup didalamnya akhir-kahir ini semakin rendah bahkan air sungai beserta unsur biotanya dipandang sebagai momok yang menakutkan dan harus dihindari, karena dianggap dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahkan sungai terkandang di benci dan dijadikan kambing hitam petaka yang menimpa manusia seperti bahaya banjir dan kekeringan.
Begitu langka terdengar kesadaran manusia bahwa renggangnya interaksi dan relasi sosial dengan sungai tersebut sebetulnya akibat ulah manusia itu sendiri. Sikap antroposentris kita selama ini telah memaksa kita untuk melihat ekosistem DAS beserta dengan unsur yang terkandung didalamnya sebagai pelayan dan pemenuh hasrat birahi kebutuhan humanis kita. Akibatnya, eksploitasi yang berlebihan dan masif terhadap sumberdaya DAS beserta unsur didalamnya menjadi langkah pembenaran atas tindakan destruktif kita selama ini yang berujung pada degradasi dan kehancuran sumberdaya dan ekosistem DAS yang ada.
Untuk mensikapi dan sebagai langkah antisipatif terhadap semakin merosotnya kondisi ekosistem kesebelas DAS yang ada di Kalimantan Tengah yang dapat berimplikasi pada semakin memburuknya kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kalimantan Tengah dan penurunan kualitas ekosistem DAS-DAS yang ada, maka dipandang perlu untuk mengharmonisasi dan merevitalisasi hubungan timbal balik keduanya melalui pengaturan yang saling menguntungkan antara aktivitas manusia di satu pihak dengan eksistensi dan keberlanjutan ekosistem DAS-DAS yang ada pada pihak lainnya. Pengaturan tersebut selayak dan sepantasnya dalam bentuk produk hukum berupa Peraturan Daerah baik di Tingkat Propinsi maupun kabupaten/kota.
Urgensi perlunya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Provinsi Kalimantan Tengah maupun Kabupaten/Kota untuk segera memikirkan Peraturan Daerah tentang Dearah Aliran Sungai tersebut, didasari atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan peningkatan aktivitas masyarakat umum dan sektor swasta yang berkontribusi pada akserelasi degradasi dan penurunan kualitas ekosistem kesebelas DAS yang di Kalimantan Tengah (Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, Seruyan, Arut, Lamandau, Kumai, Jelai, dan Sebangau); Sebagai contoh adalah aktivtas penambangan emas tanpa ijin (PETI), buangan limbah industri tertentu secara langsung maupun tidak langsung; kegiatan penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan, konversi dan alih guna kawasan sepadan sungai untuk penggunaan lain-lain;
Kedua, kecenderungan tipologi pemukiman penduduk Kalimantan Tengah yang berkonsentrasi sepanjang pinggiran DAS-DAS yang ada. Tipologi pemukiman seperti itu bertendensi negatif terhadap ekosistem DAS-DAS yang ada karena berbagai tindakan yang kurang bijaksana dari para pemukim seperti membuang sampah langsung ke sungai (sungai dianggap sebagai tong sampah), berkurangnya wilayah resapan air, dan konversi sempadan banjir dan sungai untuk kegiatan lainnya.
Ketiga, laju degradasi kualitas air dan tingkat kelangkaan sumber biota perairan yang cukup signifikan dan masif akhir-akhir ini akibat intensitas aktivitas masyarakat dan swasta yang langsung dan tidak langsung berhubungan dengan ekosistem DAS-DAS yang ada;
Keempat, tendensi menurunnya luasan kawasan hutan sebagai daerah penyangga (bufferzone) dan daerah tangkapan banjir (water catchment) pada wilayah bagian hulu DAS-DAS yang ada maupun kawasan lahan basah (gambut) di bagian hilir.
Kelima, kecenderungan intensitas dan frekwensi peristiwa banjir yang semakin tinggi di musim penghujan dan peristiwa kekeringan di musim kemarau. Kedua peristiwa tersebut sudah jamak diketahui sangat memberatkan beban sosial (social costs) yang harus dipikul oleh masyarakat maupun pemerintah daerah. Peristiwa banjir maupun kekeringan tersebut diprediksikan punya relasi yang kuat dengan semakin menipisnya areal kawasan hutan penyangga maupun daerah tangkapan banjir, akibat konversi dan alih guna keperuntukan lain seperti perkebunan, pertambangan, pertanian, pemukiman dan lain-lain.
Keenam, kesebelas DAS yang ada merupakan sumber air tawar terbesar dan merupakan aset ekonomi penting dimasa datang, sehingga usaha-usaha konservasi dan proteksi sumber air tawar tersebut merupakan langkah strategis dan bernilai ekonomis tinggi untuk pembangunan Kalimantan Tengah di masa mendatang. Perlu untuk selalu diingat suatu prediksi bahwa “future war is not oil but water“, memperlihatkan betapa pentingnya sumberdaya air dimasa depan. Orang mungkin masih bisa hidup dan bertahan tanpa setetes minyak, namun siapa yang dapat hidup dan bertahan tanpa setetes air.
Ketujuh, ketersediaan sejumlah perangkat perundang-undangan yang lebih tinggi dan memungkinkan untuk dijadikan referensi bagi pembuatan produk peraturan daerah tentang DAS tersebut. Produk-produk peraturan tersebut antara lain UU No. 32 tahun 2004; UU No.7 tahun 2004; UU No. 23 tahun 1997; UU No. 5 Tahun 1990; UU No. 41 tahun 1999; PP No. 47 tahun 1997; PP No.82 tahun 2001; Keppres 32 tahun 1990 dan produk-produk hukum lainnya yang relevan.
Bila Peraturan Daerah tentang DAS di Kalimantan Tengah segera bisa diwujudkan, maka penulis ingin urun rembug dan memberi sumbang saran tentang isu pokok yang harus diakomodir dalam peraturan daerah tersebut sebagai berikut:
Pertama, batasan-batasan operasional tentang kegiatan-kegiatan yang boleh (eligible) dan tidak boleh (non-eligible) dilakukan di wilayah DAS baik yang berkaitan dengan konversi, alih guna lahan dan pemanfaatan ekosistem DAS;
Kedua, pendekatan pengelolaan DAS yang lebih berorientasi pada eco-hydroulic approach dari pada pendekatan hidrolik konvensional yang bersifat parsial;
Ketiga, pengaturan tentang sistem peringatan dini (early warning system) untuk bencana alam seperti banjir dan kekeringan guna meminimalisir beban sosial yang ditanggung oleh masyarakat maupun pemerintah daerah.
Keempat, pengaturan tentang sistem naturalisasi sungai dan restorasi sungai berdasarkan pertimbangan aspek ekonomi, sosial dan ekologi;
Kelima, pengaturan tentang upaya dan usaha peningkatan penyadartahuan seluruh pemangku kepentingan khususnya tentang budaya air (water culture); dan
Keenam, penganturan tentang mekanisme hukuman dan penghargaan (reward and panishment mechanisms) yang terkait dengan pengelolaan, pemanfataan dan pelanggaran terhadap eksosistem DAS.Demikian kira-kira pemikiran yang bisa penulis sumbangkan dalam rangka mendorong pihak eksekutif maupun legislatif baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah untuk segera mencari solusi preventif dalam bentuk pembuatan peraturan daerah guna meminimalisir kondisi kritis yang dialami DAS-DAS besar di Kalimantan Tengah.

Tuesday, September 19, 2006

Prospek Perdagangan Karbon Hutan Melalui Mekanisme Pembangunan Bersih

Pendahuluan
Hasil laporan para ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC) yang diterbitkan pada tahun 1990 memperingatkan dunia tentang adanya bahaya perubahan iklim bagi kehidupan seluruh umat manusia dan merekomendasikan perlunya suatu kesepakatan dan upaya global untuk mengatasi masalah perubahan iklim tersebut.
Kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1990 merespon rekomendasi tersebut dengan membentuk forum negosiasi yang disebut Komite Negosiasi Antar Pemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee-INC) dan akhirnya pada bulan Mei 1992, komite tersebut menyepakati adanya Konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change – UNFCCC).
Konvensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCC) mulai ditandatangani pada saat pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Janeiro, Brazil pada tahun 1992, sehingga setelah diratifikasi oleh 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994 Konvensi Perubahan Iklim dinyatakan berkekuatan hukum dan mengikat secara hukum (legally binding) kepada para pihak yang meratifikasinya, termasuk Indonesia sebagai penandatangan konvensi ikut meratifikasi melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Salah satu tujuan pokok dari konvensi perubahan iklim (UNFCCC) adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) pada tingkat yang aman yang tidak mengganggu sistem iklim secara global. Sehingga konvensi akhirnya membagi para pihak kedalam dua kelompok yaitu kelompok negara maju dan industri yang dikenal sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ke atmosfer dengan sebutan Annex I dan negara-negara berkembang dalam kelompok Non-Annex I. Dengan menjunjung tinggi kesetaraan dan adanya prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities), konvensi mewajibkan negara-negara maju (Annex I) untuk melakukan upaya-upaya nyata di dalam negeri masing-masing guna menurunkan konsentrasi emisi Gas Rumah Kaca di atmosfer, sedangkan negara-negara berkembang (Non-Annex I) tidak ada kewajiban namun dapat berpartisipasi sebagai wujud tanggung jawab bersama tadi.
Selanjutnya untuk mengimplementasi konvensi dan memperkuat komitmen negara-negara maju (Annex I) dalam mengatasi perubahan iklim melalui pertemuan para pihak (Conference of the Parties-COP) yang pertama kali dilaksanakan di Berlin pada tahun 1995, disepakati lewat Berlin Mandate perlu adanya suatu bentuk protokol yang mengatur tanggung jawab dan komitmen nyata masing-masing anggota Annex I terhadap penurunan gas rumah kaca. Setelah melalui proses negosiasi panjang dan perdebatan sengit hampir dua tahun antara negara-negara maju dan negara berkembang, maka pada saat konferensi para pihak (Conference of Parties – COP) III tahun 1997 di Kyoto Jepang, telah diasposi suatu protokol yang dikenal dengan sebutan “Kyoto Protocol”.
Kyoto Protocol mewajibkan secara hukum negara-negara yang tergabung dalam Annex I secara bersama-sama untuk menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990, pada periode komitmen pertama tahun 2008-2012. Kyoto protocol juga mengatur penjatahan jumlah emisi gas rumah kaca yang wajib diturunkan oleh masing-masing anggota Annex I. Misalnya Amerika Serikat wajib menurunkan 36,1% dari jumlah total karbon dioksida (CO2) sebanyak 4.957.002 giga yang diemisi oleh negara tersebut pada tahun 1990.
Kendati Kyoto Protocol sudah diadopsi, namun tidak bisa segera diimplementasikan, karena masih belum memiliki kekuatan hukum sebab tidak semua negara khususnya negara maju yang tergabung dalam Annex I melakukan ratifikisi segera atas protokol tersebut. Padahal telah dipersyaratkan, bahwa protokol akan berlaku (entry into force) sembilan puluh hari setelah diratifikasi minimal 55 negara dan total emisi negara Annex I yang telah meratifikasi minimal sebesar 55% dari seluruh emisi negara Annex I di tahun 1990. Bahkan yang lebih parah lagi, Amerika Serikat yang merupakan negara pengemisi karbon terbesar di dunia menyatakan menarik diri dari protokol pada bulan Maret 2001. Sehingga pada Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties – COP) ke IX di Milan Italia tahun 2003 kyoto protokol juga belum diberlakukan.
Namun beruntung masih ada negara maju yang tergabung dalam Annex I yang memiliki kesadaran dan kepedulian tinggi terhadap masalah perubahan iklim yaitu Rusia. Rusia dengan total kewajiban emisi sebesar 17,4% untuk pertama kalinya menyatakan meratifikasi Kyoto Protocol pada bulan Desember 2004 dan dengan diratifikasi oleh Rusia maka persyaratan diberlakukanya protokol sudah dipenuhi. Sehingga lewat pertemuan para pihak (Conference of Parties – COP ) ke X di Boenes Aires, Argentina pada bulan Desember 2004 ditetapkan bahwa Kyoto Protocol akan diberlakukan (Entry into force) dan mengikat secara hukum pada tanggal 16 Februari 2005 atau beberapa hari lagi.
Bagi negara-negara berkembang yang tergabung dalam Non-Annex I, tidak ada kewajiban dalam meratifikasi Kyoto Protokol karena memang tidak diwajibkan untuk ikut menurunkan emisi karbon. Akan tetapi apabila negara-negara berkembang tidak meratifikasi protokol maka mereka juga tidak diperkenankan untuk terlibat melaksanakan proyek penurunan emisi karbon sebagaimana skema penurunan emisi yang diatur dalam Kyoto Protokol. Sehingga hal tersebut juga dapat merugikan negara berkembang karena hilangnya kesempatan yang untuk memperoleh proyek-proyek karbon dari negara-negara maju. Indonesia sendiri telah meratifikasi Kyoto Protocol melalui Undang-Undang No. 17 tahun 2004 tanggal 19 Oktober 2004 dan dengan demikian Indonesia juga bisa memperoleh kesempatan untuk terlibat sebagai tuan rumah implementasi proyek penurunan emisi Karbon.
Selanjutnya untuk melaksanakan komitmen dan jatah emisi Annex I yang telah ditetapkan pada Kyoto Protokol, ditetapkan tiga mekanisme fleksible yang dapat dilakukan, yaitu: (1) Implementasi Bersama (Joint Implementation-JI), yaitu proyek investasi penurunan emisi gas rumah kaca yang hanya dilakukan antar negara maju yang tergabung dalam Annex I. Hasil proyek ini masing-masing negara peserta akan memperoleh imbalan berupa Unit Penurunan Emisi (Emission Reduction Unit – ERU); (2) Perdagangan Emisi Internasional (International Emission Trading), yaitu perdagangan Unit Penurunan Emisi (ERU) yang juga hanya berlaku antara negara maju tergabung dalam Annex I; dan (3) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism-CDM) merupakan gabungan antara Implementasi Bersama (JI) dan Perdagangan Emisi Internasional (IET), yang dapat dilaksanakan antara negara-negara maju Annex I dan negara-negara berkembang tergabung dalam Non-Annex I. Kegiatan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB/CDM) akan menghasilkan apa yang disebut dengan istilah Emisi Disertifikasi (Certified Emission Reduction – CERs).
Tulisan ini mencoba untuk mengulas secara singkat tentang Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanisme-CDM) yang merupakan satu-satunya meknisme fleksibel dalam Kyoto Protocol yang dapat dilaksanakan antara negara-negara maju (Annex I) dan Negara Berkembang (Non-Annex I), khususnya Mekanisme Pembangunan Bersih pada sektor kehutanan.

Mekenisme Pembangunan Bersih (MPB)
Mekanisme Pembangunan Bersih atau lebih dikenal dengan istilah atau Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu mekanisme fleksible dalam Kyoto Protocol selain Implementasi Bersama (joint implementation-JI) dan Perdagangan Emisi International (International Emission Trading-IET), yang memungkin negara maju untuk melakukan kegiatan investasi di negara berkembang dalam rangka memenuhi kewajiban penurunan emisinya. Bentuk kerjasama investasi bidang Mekanisme Pembangunan Bersih dapat berupa pendanaan bilateral, pendanaan multilateral dan pendanaan unilateral.
Dengan demikian, paling tida ada dua mutual benefit yang bisa diperoleh baik bagi negara maju maupun negara berkembang dengan mengimplementasi MPB, yaitu: (1) membantu negara maju dalam memperoleh jatah penurunan emisinya lewat Certified Emissin Reduction (CERS) yang diperoleh dari kegiatan investasi MPB; dan (2) membantu transfer teknologi dan promosi kegiatan pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang sekaligus partisipasi negara berkembang dalam stabilisasi iklim global.
Mekanisme Pembangunan Bersih merupakan mekanisme investasi berbasis pasar, sehingga agar lebih menarik minat investor maka MPB sendiri harus lebih kompetitif dibandingkan dua mekanisme lainnya (lihat Mudiyarso, 2003). Kompetisi tersebut dapat diciptakan melalui biaya investasi penurunan emisi yang murah dan juga sistim kelembagaan baik ditingkat internasional dan nasional yang relatif efisien dan tidak berbelit-belit.
Sektor yang dapat dikembang melalui kegiatan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu (i) sektor yang kegiatan utamanya bertujuan menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca; dan (ii) sektor yang kegiatan utamanya bertujuan untuk menyerap gas rumah kaca dari atmosfer. Kategori pertama umumnya sektor-sektor yang memanfaatkan energi seperti listrik, transportasi, industri, komersil, rumah tangga dan persampahan; sedangkan kategori kedua adalah sektor kegiatan non-energi yang sering juga disebut sebagai carbon sequestration, seperti kegiatan sektor kehutanan.
Dari sisi kelembagaan, Mekanisme Pembangunan Bersih memiliki kelembagaan tingkat internasional berupa Badan Pelaksana MPB (CDM Executive Board) dan juga kelembagaan tingkat nasional yang disebut Badan Otorita Nasional MPB (Designated National Authority-DNA). Tugas utama dari Badan Pelaksana MPB adalah menerima secara resmi pengusulan proyek MPB dan menerbit CERs (certified emission reduction) yang dihasilkan oleh proyek MPB tersebut. Sedangkan Badan Otorita Nasional MPB (DNA) memiliki tugas utama untuk menerima atau menolak usulan proyek MPB yang diajukan oleh pengembang proyek berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan baru kemudian mengajukan usulan proyek MPB ke Badan Pelaksana MPB tingkat internasional.
Agar dapat terlibat dalam kegiatan pengembangan proyek MPB, maka syarat utama yang harus dimiliki negara berkembang termasuk Indonesia adalah sudah terbentuknya Badan Otorita Nasional MPB (Designated National Authority-DNA). Dalam kaitan ini setelah diratifikasinya Kyoto Protocol, Pemerintah Indonesia juga telah membentuk Badan Otorita MPB yang disebut dengan nama Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB). Namun, sangat disayangkan Komnas MPB masih belum menjalankan fungsi sebagaimana mestinya dan terkesan lambat dalam bertindak. Tugas-tugas yang berhasil dilaksanakan selama ini masih terbatas pada pembenahan struktur dan tugas-tugas Komnas MPB serta penetapan kriteria pembangunan berkelanjutan. Sedangkan hal-hal yang bersifat teknis dan pengembangan kapasitas masih sangat jauh dari yang diharapkan. Informasi tentang Komnas MPB dapat diakses oleh pembaca lewat website: http://dna-cdm-menlh.go.id/
Disamping kedua lembaga tersebut diatas, aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan proyek MPB antara lain: (i) partisipan proyek, yaitu pihak yang mengajukan proyek MPB dan bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaan proyek MPB di lapangan; (ii) Badan Validator (Operational Entity-OE), yaitu badan yang bertugas membantu Badan Pelaksana MPB Internasional melakukan kegiatan validasi dan verifikasi proyek MPB, termasuk memverifikasi apakah proyek MPB yang diusulkan sudah memperoleh persetujuan Badan Otorita Nasional MPB atau belum. Oleh sebab itu keberadaan Badan Validator harus memperoleh akreditasi dari Badan Pelaksana MPB internasional (CDM executive Board); (iii) Investor, dapat dibedakan atas investor yang hanya membeli emisi yang disertifikasi (CERs) dan investor yang menanamkan modalnya langsung dalam proyek MPB dan memperoleh imbalan berupa emisi yang disertifikasi (CERs); dan (iv) pihak asuransi yang bertugas memberikan jaminan penyampaian (delivery) Emisi yang Disertifikasi (CERs) dari pengembang proyek ke pihak investor. Sebagai suatu proyek, MPB memiliki siklus proyek yang jelas dan bertahap sesuai dengan kententuan yang telah ditetapkan oleh Badan Pelaksana MPB Internasional. Siklus proyek MPB itu sendiri terdiri dari: (i) identifikasi proyek, yaitu kegiatan mengidentifikasi apakah usulan proyek memiliki potensi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca atau tidak; (ii) desain proyek, berupa koleksi informasi dalam rangka pembuatan Dokumen Desain Proyek (Project Design Document); (iii) pembuatan Dokumen Desain Proyek (Project Design Dokumen), yang memuat informasi tentang deskripsi proyek, perhitungan emisi awal beserta metode perhitungan, perhitungan emisi yang dihasilkan proyek MPB dan metode perhitungan, periode waktu proyek, metode dan rancangan monitoring proyek, analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan komentar publik mengenai proyek tersebut; (iv) persetujuan proyek MPB oleh Badan Otorita Nasional MPB; (v) Validasi Dokumen Desain Proyek (PDD) oleh Badan Validator; (vi) registrasi/pendaftaran proyek MPB ke Badan Pelaksana MPB internasional; (vii) Implementasi proyek MPB; (viii) Pengawasan/monitoring dilakukan oleh tim monitor independen; (ix) verifikasi, hasil pengawasan akan dikaji ulang oleh badan validator untuk meneliti kebenaran implementai proyek MPB; (x) sertifkasi penurun emisi (certification of emission reduction), yaitu berupa jaminan tertulis dari badan validator independen yang menyatakan bahwa proyek MPB yang dijalankan telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sejumlah tertentu; dan (xi) Penerbitan Penurunan Emisi yang Disertfikasi (Certified Emission Reduction-CERs) oleh Badan Pelaksana MPB Internasional.

Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) di Sektor Kehutanan
Sebelum membahas tentang Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) sektor kehutanan, terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat tentang apa itu karbon dan perdagangan karbon hutan itu sendiri. Banyak kesimpangsiuran informasi dan pemahaman keliru yang terjadi ditengah masyarakat tentang karbon hutan dan perdagangan karbon.
Bahkan penulis sendiri pernah beberapa kali menghadapi dan menemukan pertanyaan agak menggelitik dari orang tertentu tentang perdagangan karbon. Misalnya, seseorang pernah melontarkan satu pertanyaan berikut: Pak, nanti kita mengangkut karbon itu perlu memakai kontainer atau tidak? Pertanyaan lain lagi misalnya, apakah benar nantinya dalam perdagangan karbon katanya oksigen kita dibeli oleh negara-negara maju dan kita akan dapat uang? Bahkan kalau penulis tidak keliru ada pernyataan seorang pimpinan Lembaga Swadaya Lingkungan Hidup berpengaruh dan bergelar doktor yang dilansir sebagai berita utama (headline) oleh beberapa koran lokal Kalimantan Tengah hampir dua tahun lalu yang berjudul kira-kira: “Canada akan Membeli Udara Kalteng?”. Dan mungkin ada puluhan, ratusan bahkan ribuan pertanyaan dan pernyataan bermakna jamak dan bias yang mengemuka di tengah masyarakat sehubungan dengan karbon hutan dan perdagangan karbon hutan itu sendiri. Pertanyaan dan pernyataan mengemuka seperti disebut diatas menggambarkan masih rendahnya pemahaman dan pengetahuan ditingkat masyarakat kita tentang Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) umumnya dan perdagangan karbon khususnya, sehingga pengembangan kapasitas secara intensif pada berbagai strata masyarakat dan pemerintahan sangatlah mendesak untuk dilakukan.
Kembali ke masalah karbon hutan, proyek kehutanan sebetulnya dapat ikut berperan dalam menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca khususnya gas karbon diaksoda (CO2), dalam dua bentuk (CIFOR, 2002): pertama, mencegah pelepasan karbon yang tersimpan dalam tegakan hutan ke dalam atmosfer/udara dengan cara mengurangi laju deforestasi dan mencegah kebakaran hutan; kedua, secara aktif meningkatkan stok karbon (atau dikenal sebagai sequestrasi karbon) melalui kegiatan penanaman pohon, perbaikan manajemen lahan dan memaksimumkan regenerasi alami kawasan hutan yang terdegradasi. Fungsi sequestrasi atau juga sering disebut fungsi penyerap karbon (carbon sink) hutan sangat strategis karena hutan dapat menyerapkan gas karbon dioksida (CO2) yang ada di atmosfir, yang kemudian diikat dan disimpan dalam bentuk biomassa berupa batang, dahan, ranting dan akar pohon. Semakin tinggi usia dan semakin besar pohon kayu, maka akumulasi dan kandungan karbon yang tersimpan berupa biomassa juga semakin besar. Apabila kayu atau pohon dipanen/ditebang, dan atau terjadi kebakaran hutan terjadi, misalnya, maka akan terjadi pelepasan karbon dioksida kembali ke atmosfir bumi.
Mengingat fungsi hutan yang dapat berperan dalam menyimpan dan menyerap gas karbon dioksida tersebut, maka dalam kerangka konvensi perubahan iklim muncul pemikiran menjadikan Guna Lahan, Alih Guna Lahan dan Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry atau disingkat LULUCF) sebagai salah satu alternatif mitigasi iklim global. Sehingga karbon yang tersimpan dalam bentuk biomasa (batang, dahan, ranting dan akar kayu) dapat diperdagangankan atau diperjualbelikan dalam kerangka membantu negara-negara maju (Annex I) memenuhi komitmen penurunan tingkat emisinya. Jadi sekali lagi, karbonnya tidak perlu repot-repot diangkut dengan kontainer atau kapal laut ke luar negeri, tetapi cukup disimpan dan dijaga dalam bentuk tegakan pohon pada lokasi dimana kayu atau pohon tersebut ditanam.
Kegiatan perdagangan karbon hutan itu sendiri dapat dilakukan antar negara maju yang tergabung dalam Annex I maupun antara negara maju dengan negara berkembang (non-Annex I). Kegiatan perdagangan karbon dari sektor kehutanan antara negara Annex-I dan Non-Annex I, itu sendiri dalam Kyoto Protocol diatur melalui skema Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) sektor kehutanan yang akan dijelaskan agak detail pada bagian berikut ini.
Masuk masalah kehutanan dalam kerangka mitigasi perubahan iklim khususnya dalam skema MPB Kyoto Protocol sebelumnya penuh dengan kontroversi dan silang pendapat antara negara-negara anggota Annex-I yang berasal dari Eropah, china dan juga beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat di belahan bumi Utara dengan negara-negara Afrika, negara-negara yang tergabung dalam OPEC, dan Canada dan sebagian negara di Skandinavia yang memiliki kawasan hutan cukup luas. Silang pendapat tersebut mencapai puncaknya saat gagalnya Pertemuan Para Pihak ke- 6 (COP-VI) di Hague Belanda tahun 2000.
Silang pendapat dan konstroversi terjadi karena pihak yang kontra terhadap dimasukannya sektor kehutanan dalam skema MPB meragukan fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang sifatnya hanya sementara atau tidak permanen (non-permanence), karena apabila hutan dieksploitasi/dipanen, terjadi kebakaran hutan atau terserang penyakit maka akan terjadi pelepasan karbon kembali ke udara/atmosfir. Persoalan lain adalah adanya keraguan sebagian negara-negara anggota Annex I dan LSM Barat tentang kemampuan negara-negara berkembang dalam mengelola dan melindungi hutannya serta adanya kekuatiran bahwa proyek MPB sektor kehutanan justru akan mendorong laju deforestasi dan perubahan status kawasan hutan. Sementara dari pihak yang mendukung terhadap masuknya sektor kehutanan dalam MPB, menekankan masalah perlunya konpensasi bagi negara-negara yang mempertahankan hutannya bagi mitigasi perubahan iklim global dan juga perlunya tanggung jawab negara maju (Annex I) terhadap akibat negatif yang harus ditanggung oleh negara berkembang (Non-Annex I) akibat adanya perubahan iklim global.
Kebuntuan dan kontroversi tersebut akhirnya mencair dan diperoleh jalan tengah pada saat dilaksanakan Konferensi Para Pihak ke-6 bagian II (COP VI-vis) yang merupakan lanjutan COP VI yang dilaksanakan di Bonn, Jerman tahun 2001. Melalui Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) disepakati bahwa MPB sektor kehutanan hanya dibatasi pada kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) sedangkan kegiatan pencegahan deforestasi (avoiding deforestation) ditolak.
Berikutnya pada saat Pertemuan Para Pihak ke-7 (COP-VII) bulan Nopember 2001 di Marrakesh, Maroko, menghasilkan kesepakatan Marakesh Accord yang salah satunya mengadopsi keputusan Decision 17/CP7, yang mengatur tentang tata cara dan prosedur (modalities and procedure) kegiatan Guna Lahan, Tata Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF) yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme MPB. Keputusan tersebut menyepakati tiga hal utama, yaitu: pertama, kegiatan MPB kehutanan hanya berlaku untuk periode komitmen pertama tahun 2008-2012; kedua, kegiatan MPB sektor kehutanan hanya terbatas pada kegiatan Aforestasi dan Reforestasi; dan ketiga, kegiatan MPB sektor kehutanan tidak boleh lebih dari 1% total emisi pihak investor Annex-I.
Kemudian juga hal prinsip yang disepakati di Marakesh Accord yang berkaitan dengan MPB sektor kehutanan adalah (i) Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimum 0,5 – 1 hektar, dengan lebih dari 10-30 persennya ditumbuhi tanaman dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2-5 meter. Wilayah hutan dapat merupakan hutan tertutup atau terbuka dengan berbagai jenis tumbuhan; (ii) Aforestasi (Afforestation) adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal dalam 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi area hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan atau aktivitas lain yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam; (iii) Reforestasi (Reforestation) adalah aktivitas langsung yang dilakukan manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui kegiatan penanaman, pembibitan, dan atau kegiatan lain yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan area hutan namun mengalami perubahan menjadi area bukan hutan. Pada periode komitmen Pertama (2008-2012) kegiatan reforestasi dibatasi pada area yang sudah tidak berhutan lagi sejak 31 Desember 1989 atau terhitung sejak tahun 1990.
Kesepakatan-kesepakatan dalam MPB sektor kehutanan yang dihasilkan dalam Marakesh Accord tersebut masih berlaku dan tidak mengalami perubahan hingga dilaksanakannya Pertemuan Para Pihak ke-10 (COP X) di Buenos Aires, Argentina pada tanggal 6-17 Desember 2004.

Aspek-aspek Teknis dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) Sektor Kehutanan
Ada beberapa hal yang bersifat teknis yang perlu diketahui berkaitan dengan pelaksanaan MPB sektor kehutanan. Aspek-aspek tersebut akan diuraikan secara singkat pada bagian berikut ini.
Batasan Kegiatan Aforestasi dan Reforestasi dalam MPB
Implikasi dari ditetapkannya batasan kegiatan Aforestasi dan Reforestasi (Afforestation and Reforestation-A/R) pada Marakesh Accord menyebabkan pelaksanaan MPB sektor Kehutanan melalui kegiatan Aforestasi hanya berlaku atau sah untuk kawasan yang dikategorikan sebagai lahan kritis (bukan hutan) sejak 50 puluh tahun yang lalu. Sedangkan untuk kegiatan Reforestasi hanya bisa dilakukan pada kawasan hutan yang dikategorikan sudah rusak (degraded forest) terhitung sejak tahun 1990. Implikasi lain dari pembatasan definisi dalam Marakesh Accord adalah tidak dapat dimasukkannya kegiatan konservasi hutan atau perlindungan hutan (primer dan sekunder) dalam proyek karbon dibawah skema MPB.

Masalah Baseline
Baseline merupakan suatu skenario tentang kondisi cadangan karbon hutan dan pertambahan jumlah karbon hutan yang diperoleh pada kawasan proyek jika tidak dilaksanakannya kegiatan Aforestasi dan Reforestasi MPB. Atau dengan kata lain bahwa baseline adalah jumlah cadangan dan pertambahan jumlah karbon hutan yang diciptakan oleh suatu kawasan tanpa adanya kegiatan Aforestasi dan Reforestasi.
Baseline suatu proyek sangat penting untuk diketahui, karena akan berimplikasi pada perhitungan jumlah karbon yang dihasilkan melalui kegiatan aforestasi maupun reforestasi MPB.
Metode yang digunakan dalam menghitung baseline suatu proyek karbon hutan umumnya mengikuti empat langkah berikut: (i) menghitung jumlah stok karbon sebelum dilaksanakannya proyek aforestasi atau reforestasi MPB (sering disebut dengan historical baseline); (ii) memprediksi jumlah perubahan stok karbon jika tidak dilaksanakan kegiatan aforestasi dan reforestasi MPB (sering disebut reference case); (iii) memperkirakan perubahan stok karbon akibat dilaksanakannya proyek aforestasi dan reforestasi MPB (sering disebut dengan istilah project case); dan (iv) memprediksi jumlah selisih antara stok karbon reference case dan project case. Selisih jumlah stok karbon reference case dan project case inilah yang akan disertifikasi dan bisa diperdagangan dalam bentuk Emisi Disertifikasi (CER). Emisi Disertifikasi (CER) adalah satuan penurunan emisi setara 1 ton CO2 dalam bentuk sertifikat.

Kebocoran (Leakage)
Kebocoran (leakage) adalah gambaran tentang jumlah kehilangan karbon, akibat adanya emisi karbon diluar batas proyek aforestasi dan reforestasi MPB. Misalnya terjadi penebangan hutan dan kebakaran hutan diluar batas proyek Dalam perhitungan, jumlah karbon yang mengalami kebocoran akan mengurani nilai Emisi Disertifikasi (CER) yang diperoleh proyek aforestasi dan reforestsi MPB.

Batas Proyek (Project Boundary)
Batas proyek (project boundry) dalam proyek aforestasi dan reforestasi MPB hingga saat ini masih dalam perdebatan dan diskusi. Bahkan isu batas proyek ini menjadi salah satu isu utama dan rekomendasi pokok kegiatan workshop internasional yang diikuti penulis di CIFOR tanggal 16-17 Pebruari 2005 yang baru lalu.
Pendekatan batas proyek secara fisik dan administrasi juga belum bisa diadopsi mengingat masalah emisi udara biasanya tidak mengenal batas administratif dan fisik. Sehingga ada saran untuk mengkaji secara komprehensif tentang penetapan batas proyek kegiatan aforestasi dan reforestasi MPB. Misalnya tidak hanya berdasarkan pendekatan administrasi dan fisik saja, tetapi mempertimbangkan aspek batas ekologi.

Non-Permanen (non-permanence)
Isu teknis yang juga cukup mendapat perhatian di MPB sektor kehutanan adalah masalah non-permanen, yaitu suatu keadaan dimana daya stok dan daya simpan karbon disektor kehutanan tidak bersifat permanen seperti disektor industri/energi. Karbon disektor kehutanan akan mengalami emisi kembali ke atmosfir baik secara alami maupun sengaja. Secara alami misalnya hutan mengalami batasan usia tertentu akan mati atau mengalami serangan penyakit atau kebakaran hutan sehingga terjadi proses pelepasan kembali karbon yang disimpan. Secara sengaja, misalnya penebangan atau pemanenan pohon, sehingga juga akan terjadi pelepasan kembali karbon ke atmosfer.
Ada tiga pendekatan yang bisa ditempuh dalam mengatasi isu non-permanen; pertama, dengan menerbitkan Emisi Disertifikasi Sementara (tCER) yang akan mengalami batas kadaluwarsa pada saat periode komitmen berikutnya; kedua, menerbitkan Emisi Disertifikasi jangka panjang (lCER) yang akan kadaluwarsa pada saat berakhirnya periode kredit aforestasi dan reforestasi MPB; dan ketiga, menggunakan sistem perhitungan ton tahunan (tonne-year), yaitu menghitung jumlah peroleh stok karbon setiap tahun dari kegiatan Aforestasi dan Reforestasi MPB .

Prospek Perdagangan Karbon Hutan lewat Skema MPB
Perdagangan karbon lewat skema MPB adalah skema berbasis pasar, sehingga apabila berbicara prospek perdagangan karbon maka tidak terlepas dari interaksi sisi penawaran, permintaan, harga, faktor resiko dan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan perdagangan karbon itu sendiri.
Dilihat dari sisi permintaan, jumlah permintaan karbon dari sektor kehutanan sudah bersifat rigit/kaku yaitu berdasarkan ketetapan Marrakesh Accord bahwa jumlah karbon hutan yang bisa diperdagangan lewat MPB dibatasi hanya 1% dari total emisi karbon global sebesar 14 milyar ton atau dengan kata lain volume karbon hutan yang bisa dijual oleh negara berkembang non-Annex I lewat MPB sektor kehutanan hanya sebanyak 140 juta ton karbon per tahun. Dibatasinya alokasi permintaan karbon dari MPB sektor kehutanan dilandasi dua pertimbangan pokok, pertama, bahwa kegiatan MPB sektor kehutanan hanya bersifat kegiatan tambahan yang bisa dilakukan olen negara yang tergabung dalam Annex-I dengan negara berkembang non-Annex-I, sedangkan fokus utama tetap diarahkan pada kegiatan penurunan emisi di domestik negara-negara Annex-I itu sendiri, dan kedua, guna mencegah negara Annex-I mengalihkan tanggung jawab penurunan emisinya pada sektor kehutanan di negara berkembang yang berbiaya rendah. Perlu juga diingat bahwa perdagangan karbon lewat skema MPB sektor kehutanan sudah disepakati hanya berlaku untuk periode komitmen pertama tahun 2008-2012, sedangkan untuk periode komitmen berikutnya setelah tahun 2012 kemungkinkan besar perdagangan karbon lewat MPB sektor kehutanan sudah tidak diijinkan lagi, kecuali hasil-hasil yang dicapai di sektor kehutanan pada periode komitmen pertama memperlihatkan kontribusi yang luar biasa terhadap penurunan emisi global.
Sementara itu dilihat dari sisi penawaran, persaingan untuk menjual karbon hutan lewat MPB sektor kehutanan oleh negara berkembang non-Annex I kelihatannya cukup ketat. Hasil perhitungan Pelangi (2003) dengan menggunakan model PET (Pelangi’s Emission Trading) dari kegiatan Reforestasi saja potensi penawaran karbon negara berkembang mencapai 94,2 juta ton/tahun. Dimana pangsa pasar terbesar dimiliki oleh negara Brasil (26,1%), Amerika Latin lainnya (20%), sedangkan Indonesia sendiri memiliki pangsa 15,8 juta ton CO2/tahun (16,8%). Belum lagi penawaran karbon hutan yang berasal dari kegiatan Aforestasi. Selanjutnya berdasarkan National Strategy Study (NSS) MPB yang dilakukan oleh Kantor Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2003, kemampuan supply karbon Indonesia lewat MPB mencapai 36 juta ton CO2/tahun, dimana 28 juta ton CO2/tahun diantaranya dari sektor kehutanan. Kemudian baru baru ini (Kompas, 23/2) deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian menyatakan bahwa potensi karbon yang bisa dipasok Indonesia sejumlah 24 juta ton CO2/tahun dari sektor energi dan 23 juta ton CO2/tahun dari sektor kehutanan.
Implikasi dari terbatasnya jumlah permintaan karbon lewat MPB sektor kehutanan dan tingginya persaingan pasokan karbon hutan dari negara-negara non-Annex I, akan berdampak pada fluktuasi harga Emisi Disertfikasi (CER) di pasar global. Bila pasokan jauh lebih besar dari permintaan, maka harga CER cenderung mendapat tekanan atau turun. Saat ini harga pasaran karbon berkisar antara US$ 3 – US$ 8/ton CO2. Oleh karena itu dibutuhkan kehati-hatian dari negara-negara non-Annex I untuk tidak berlomba-lomba memasok karbon sektor kehutanan di pasar karbon global. Faktor lain yang bisa menekan harga karbon (CER) sektor kehutanan adalah adanya kekuatiran perihal kebocoran (leakage) yang tinggi, misalnya karena kebakaran hutan, penebangan kayu dan penyebaran hama penyakit.
Disamping faktor pasar, prospek perdagangan karbon hutan lewat skema MPB sektor kehutanan juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesiapan institusi dan perangkat hukum yang mengaturnya. Dari sisi institusi, Indonesia baru membentuk Komisi Nasional MPB dan pihak-pihak yang ditunjuk untuk duduk dalam Komnas MPB hingga saat ini masih belum tuntas. Sehingga dikuatirkan keterlambatan ini akan mempersempit peluang Indonesia untuk terlibat dalam kegiatan perdagangan karbon hutan lewat skema MPB. Apalagi waktu pendaftaran (registry) proyek MPB dibatasi terhitung sejak tahun 2000 dan akan berakhir tanggal 31 Desember 2005. Belum lagi masalah pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dibidang pengembangan proyek karbon di tingkat nasional bahkan kedaerah-daerah.
Sementara itu, dari sisi perangkat legislasi, Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah nampaknya masih perlu berbenah diri melalui sinkronisasi dan harmonisasi perangkat hukum yang mendukung bagi terlaksananya kegiatan perdagangan karbon. Beberapa perangkat hukum yang kurang kondusif bagi pelaksanaan kegiatan perdagangan karbon seperti Keppres No. 188 tahun 2000 yang mengatur masalah Daftar Positip dan Negatif untuk Penanaman Modal Asing, dimana disebutkan bahwa modal asing tidak dapat diikutsertakan dalam pengembangan kegiatan hasil hutan non-kayu. Kemudian, PP No. 34/2002 tentang alokasi lahan hutan, rencana pengelolaan hutan dan penggunaan hutan, yang mengatur tentang pembatasan pemberian usaha jasa lingkungan yang hanya seluas 1.000 hektar untuk jangka waktu 10 tahun dan maksimal setiap kabupaten hanya boleh memberi 2 ijin.
Belum lagi dari sisi kesiapan pemerintah daerah dalam pembuatan perda yang mengatur keterlibatan pihak pemerintah daerah dalam hal kegiatan perdagangan karbon. Kendati sudah dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.14/2004 tentang Tatacara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), namun dikuatirkan bahwa keseluruhan perangkat hukum tersebut diatas masih belum menyentuh ke daerah-daerah.
Jadi kesimpulannya masih banyak yang harus diperbuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyikapi dan mengantisipasi kegiatan perdagangan karbon hutan, kalau tidak mau dikatakan terlambat.
Kegiatan Perdagangan Karbon Hutan melalui Skema MPB dari Perspektif Kalimantan Tengah
Sepertinya tidak bijak untuk membicarakan kesiapan Kalimantan Tengah baik dari sisi institusi, perangkat hukum dan sumberdaya manusia dalam kerangka kegiatan perdagangan karbon hutan, mengingat di tingkat nasional pun kita dapat dikatakan masih keteteran.
Namun, ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan catatan dan renungan bersama yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan karbon hutan dari perspektif Kalimantan Tengah.
Pertama, kesiapan lahan untuk kegiatan reforestasi MPB nampaknya Kalimantan Tengah cukup potensial. Catatan terakhir Walhi Kalteng (Kapos, 24/2) diperoleh prediksi tingkat kerusakan hutan Kalimantan Tengah mencapai 8 juta hektar, sedangkan versi Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah luas hutan yang rusak mencapai 4 juta hektar. Kendati dua data yang disajikan cukup signifikan berbeda, namun cukup untuk menggambarkan bahwa potensi lahan untuk dijadikan kegiatan aforestasi MPB cukup terbuka luas di Kalimantan Tengah. Namun yang perlu diingat bahwa kendala perangkat peraturan seperti Keppres No. 188/2000 dan PP No. 34/2002 yang potensial untuk menghambat pelaksanaan kegiatan proyek karbon hutan perlu segera disikapi; Begitu juga menyangkut perangkat hukum daerah berupa Perda yang mengatur masalah perdagangan karbon.
Kedua, kendatipun kegiatan proyek karbon hutan dari kacamata persaingan cukup ketat dan pasar kurang prospektif, namun yang harus diingat bahwa pelaksanaan kegiatan proyek karbon hutan mestinya jangan hanya berorientasi pada uang semata, melainkan potensi lain seperti adanya pengembangan kapasitas, transfer teknologi dan diterapkannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada pelaksanaan proyek karbon hutan merupakan peluang yang seharusnya jangan dibiarkan berlalu oleh pemerintah daerah dan masyarakat Kalimantan Tengah.
Ketiga, perlunya upaya lobi dan pendekatan intensif oleh Pemerintah Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah baik ditingkat nasional maupun internasional terhadap sumber-sumber pendanaan lain diluar skema Kyoto Protocol untuk pengelolaan sektor kehutanan misal Dana BioCarbon Fund yang terdapat di Bank Dunia dan dana-dana adaptasi dalam kerangka konvensi perubahan iklim;
Keempat, peluang pembiayaan kegiatan reforestasi MPB secara unilateral sangat dimungkinkan dilakukan oleh Kalimantan Tengah lewat penggunaan dana DAK DR dan GRNHL yang ada.
Kelima, hendaknya Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota Kalimantan Tengah mulai memperkuat posisi tawar (bergaining position) ditingkat nasional maupun internasional yang berkaitan dengan potensi karbon sangat besar yang dimiliki Kalimantan Tengah misalnya dari kawasan lahan dan hutan gambut. Dimana diketahui bahwa potensi karbon dari lahan dan hutan gambut hampir 10 kali lipat dari potensi karbon ekosistem hutan di daerah teresterial.Catatan-catatan tersebut diatas semoga menjadi perhatian kita semua. Sekali lagi untuk selalu kita ingat bahwa PERDAGANGAN KARBON HUTAN, BUKAN PEMBERIAN UANG CUMA-CUMA SEPERTI DURIAN RUNTUH DARI NEGARA MAJU KEPADA NEGARA BERKEMBANG (TERMASUK INDONESIA), MELAINKAN PROSEDUR DAN PERSAINGAN KETAT TETAP MENJADI PIJAKAN UTAMA. Dengan perkataan lain bahwa Perdagangan Karbon memang mudah untuk DIKATAKAN dan DIOBRALKAN tetapi sulit dan kompleksitas dalam pelaksanaannya. Meskipun begitu peluang untuk untuk dilaksanakan di Kalimantan Tengah tetap ada.

Berlomba Merebut Kota Terbersih di Kalimantan Tengah

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup kembali meluncurkan program penilaian kebersihan dan penghijauan melalui program Adipura terhadap kota-kota di seluruh Indonesia tidak terkecuali kota-kota di Propinsi Kalimantan Tengah.
Dibandingkan dengan program Adipura tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 2005 dan seterusnya paling tidak ada dua hal yang berbeda dalam kerangka program adipura: pertama, seluruh ibukota Kabupaten/Kota wajib diikursertakan sebagai peserta, sementara sebelumnya kepersertaan bersifat sukarela (voluntary); dan kedua, penilaian adipura kali ini disamping ingin memberikan anugerah Adipura untuk kota-kota terbersih dan terhijau (clean and green city), juga akan diumumkan kota-kota dengan kategori kota terkotor (the dirtiest city/town).
Implikasi dari adanya sistem baru tersebut diatas, mengharuskan para kepala daerah di Kalimantan Tengah untuk secara serius dan terprogram memikirkan masalah penanganan kebersihan dan penghijauan kotanya di masa-masa akan datang. Pergeseran paradigma kebijakan penanganan kebersihan dan penghijauan kota mutlak dilakukan dari pola yang bersifat parsial, reaktif dan responsif menjadi pola yang lebih institutif, terintegratif, berkelanjutan dan melibatkan partisipasi seluruh warga kota. Dengan sistem yang baru juga diharapkan memberikan motivasi kepada para kepala daerah untuk tidak lagi menjalankan program kebersihan dan penghijauan termasuk penataan kota secara setengah hati, melainkan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan bahkan menjadi program prioritas bilamana menginginkan anugerah kota terbersih atau minimal terhindar dari predikat kota terkotor. Setiap kepala daerah beserta seluruh warganya pasti tidak menghendaki kotanya diberikan predikat yang terakhir disebutkan.
Tentu saja tanggung jawab kebersihan dan penghijauan kota tidak semata-mata menjadi tanggung jawab kepala daerah berserta jajarannya, melainkan juga sangat ditentukan oleh perilaku, sikap, kesadaran dan partisipasi seluruh warga kota. Oleh karena itu para Bupati/Walikota harus menyusun strategi baru untuk mengoptimal partisipasi dan memotivasi seluruh warga kota dalam hal peningkatan kebersihan dan penghijauan kota. Pola-pola lama seperti jum’at bersih, sabtu bersih, program penghijauan sekolah dan lain-lainnya patut untuk dipertimbangkan dan dihidupkan kembali. Disamping itu, program-program penyadaran masyarakat melalui pengenalan pendidikan lingkungan hidup untuk sekolah dan masyarakat juga merupakan langkah strategis dalam rangka mewujudkan kota yang bersih dan asri dimasa akan datang.
Dalam rangka memotivasi kota-kota di Kalimantan Tengah mewujudkan clean and green city dimasa akan datang, Pemerintah Propinsi dalam hal ini Gubernur Kalimantan Tengah dapat melaksanakan program tahunan pra-Adipura berupa lomba kebersihan antar kota se-Kalimatan Tengah, dimana gubernur bisa memberikan penghargaan/predikat kota terbersih dan kota terkotor melalui semacam surat keputusan gubernur Kalimantan Tengah.
Mencermati hasil monitoring tahap pertama yang telah dilaksanakan pada bulan Desember ini, maka beberapa titik lemah yang masih perlu pembenahan dan perbaikan disana-sini dalam hal penataan dan peningkatan kebersihan lingkungan kota-kota di Kalimantan Tengah, antara lain: (i) revitalisasi dan optimalisasi pola penanganan dan pengelolaan sampah dilingkungan perumahan, perkantoran, sekolah, RSUD, pasar, pertokoan dan terminal angkutan umum; (ii) revitalisasi sistem drainase perkotaan dan komplek aktivitas publik seperti pasar, pertokoan dan terminal; (iii) peningkatan jumlah sebaran dan fungsi pohon peneduh dan penghijauan pada pusat-pusat utilitas publik; (iv) peningkatan penataan dan kebersihan sarana kota seperti jalan arteri dan kolektor yang dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki dan peningkatan fungsi dan sebaran pohon peneduh; dan (v) pola penanganan dan pengelolaan TPA serta pemanfaatan sampah.
Perlu diketahui bahwa sistem penilaian adipura bersifat komulatif dan integratif yang diramu dari berbagai komponen penilaian fisik maupun non-fisik dengan masing-masing bobot penilaian yang berbeda pula, sehingga hasil penilaian salah satu komponen akan sangat berpengaruh terhadap hasil penilaian secara keseluruhan. Palu masih belum diketok dan penilaian tahap berikutnya masih akan dilakukan pada awal tahun depan, oleh karena itu masih ada kesempatan bagi kota-kota di Kalimantan Tengah untuk berbenah dan menata diri, karena bila dilakukan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan didukung oleh partisipasi seluruh warga kota tidak mustahil predikat kota terbersih diraih oleh kota-kota di Kalimantan Tengah atau paling tidak terhindar dari predikat kota terkotor. Selamat berusaha dan berupaya.

Refleksi Akhir Tahun Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah

Tidak terasa kita sudah berada di penghujung tahun 2005 dan bersiap-siap menyongsong tahun baru 2006. Berbagai peristiwa, pernak-pernik, warna dan dinamika peristiwa yang berhubungan dengan lingkungan hidup di Kalimantan Tengah telah dialami dan dilewati oleh masyarakat Kalimantan Tengah sepanjang tahun 2005.
Sepanjang tahun 2005 potret lingkungan hidup di Kalimantan Tengah tidak beranjak baik kalau tidak mau dikatakan cenderung buram dibandingkan sebelumnya. Bahkan skala dan intensitas persoalan lingkungan hidup cenderung besar dan kompleks seiring dengan derap langkah pembangunan yang telah dilakukan.
Peristiwa lingkungan hidup yang selama ini sudah menjadi ikon Kalimantan Tengah seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, illegal logging, penurunan kualitas air akibat pertambangan emas tanpa ijin, sengketa lahan antara warga masyarakat dan perkebunan skala besar (PBS), kisruh konversi kawasan konservasi dan lindung untuk kegiatan pembangunan lainnya dan penanganan kawasan eks PLG satu juta hektar nampaknya semakin jamak untuk didengar maupun dilihat sepanjang tahun 2005.
Liputan tentang peristiwa banjir beserta dampak negatif yang ditimbulkannya menjadi menu wajib harian media cetak dan elektronik selama bulan Januari tahun 2005 dan kemudian peristiwa serupa terulang dan terjadi kembali dipenghujung tahun 2005. Tangisan, rintihan dan keluhan masyarakat yang tertimpa dan kelihangan harta benda bahkan nyawa akibat peristiwa banjir tersebut terdengar dan terlihat dimana-mana. Fenomena banjir tampaknya memperlihat intensitas dan frekwensi yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin rusaknya kawasan hutan penyangga (bufferzone) pada bagian hulu dan kawasan hutan rawa gambut dibagian hilir. Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat dan pemerintah Kalimantan Tengah dalam menghadapi peristiwa dan kemarahan alam tersebut, kecuali menggerutu dan mencoba saling menyalahkan dan sangat langka terdengar adanya kesadaran untuk menemukenali akar masalah terjadinya banjir yang merupakan langganan tahun tersebut.
Begitu juga sekitar bulan Agustus hingga akhir September 2005, setiap hari kita disuguhi dan menikmati kabut asap akibat kegiatan pembakaran hutan dan lahan. komplain dan kejengkelan akibat kabut asap tersebut tidak saja terdengar di Propinsi Kalimantan Tengah, bahkan menjalar sampai negara tetangga khususnya Malaysia. Sekolah, kantor dan bandara di Kuala Lumpu dan Petaling Jaya Malaysia tutup dan lumpuh beberapa minggu akibat kabut asap kiriman dari Kalimantan dan Sumatera (The Jakarta Post, 12/8/05). Kembali lagi bahwa kita tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi dan menanggulangi asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun tersebut, kecuali ramai-ramai berdebat dan berhitung tentang jumlah titik panas (hotpsots). Usaha preventif seperti adanya Perda Propinsi No. 5 tahun 2003 dan Perda Kota No. 7 tahun 2003, kelihatan masih tidak dapat diandalkan sebagai instrumen pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Begitu juga upaya kuratif melalui kegiatan pemadaman dilapangan oleh berbagai kelompok Tim serbu Api nampaknya masih belum optimal karena dihadapkan pada persoalan teknis maupun non teknis seperti kekurangan pendanaan, peralatan dan personil. Akhirnya kita harus mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa dan alam itu sendiri yang mampu mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.
Terkait persoalan penebangan hutan secara illegal (illegal logging), nampaknya menunjukkan intensitas yang agak menurun di tahun 2005. Penyebabnya masih belum diketahui, apakah karena tingkat kesadaran para pihak sudah mulai tumbuh tentang dampak negatif illegal logging ataukah memang kawasan hutan yang bisa dieksploitasi sudah semakin tipis. Namun, kemungkinan besar sebab yang disebutkan terakhir yang menyebabkan kasus illegal logging berkurang cukup signifikan di Kalimantan Tengah dan hal ini terlihat dari data jumlah hutan yang terdegradasi di Kalimantan Tengah yang cenderung bertambah, dimana data terakhir menunjukkan angka hampir tujuh juta hektar (Kalteng Pos, 13 September 2005).
Penurunan kualitas air sungai-sungai besar di propinsi Kalimantan Tengah akibat kegiatan penambangan emas tanpa ijin (PETI), pembuangan limbah industri perkebunan dan kegiatan logging memperlihatkan trend yang menaik. Keluhan masyarakat tentang matinya ribuan ekor ikan milik masyarakat di Desa Kabuau, Kecamatan Parenggean, yang diperkirakan akibat buangan limbah salah satu industri kelapa sawit (Palangka Post, 11 Agustus 2005) ke Sungai Tualan merupakan salah satu contoh. Kemudian hasil temuan PPLH UNPAR dan Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Murung Raya tentang kualitas air sungai Barito yang memburuk (Kaltengpos, 17/12/05), merupakan contoh lainnya. Sekali lagi bahwa persoalan kualitas air sungai yang menjadi sumber kehidupan manusia akan menjadi persoalan besar di Kalimantan Tengah dimasa akan datang bila persoalan penurunan kualitas air ini tidak segera ditangani dan ditanggulangi. Haruskah seluruh masyarakat mengkonsumsi air mineral kemasan yang harganya jauh lebih mahal ketimbang harga BBM dimasa akan datang?. Bila ini terjadi berarti begitu ironis, sebab Kalimantan Tengah memiliki 11 sungai besar yang semestinya dapat dijadikan pontensi sumber air tawar terbesar dimasa akan datang dan potensi emas biru atau blue gold meminjam istilah Barlow dan Clarke, 2002, dapat menjadi aset ekonomi luar biasa di Kalimantan Tengah pada waktu akan datang bila dikelola secara baik.
Sengketa lahan antara sebagian warga masyarakat dan pihak PBS sawit kelihatannya cukup signifikan terjadi di tahun 2005. Lihat saja kasus penolakan warga desa Boloi dan sekitarnya, di Kecamatan Antang Kalang terhadap kehadiran investor sawit yang dianggap mencaplok lahan perkebunan dan pekarangan mereka seperti ditulis beberapa media lokal beberapa bulan yang lalu. Kemudian penolakan 19 Kepala Desa dan BPD serta tokoh masyarakat se-Kecamatan Delang terhadap PBS di wilayah mereka (Kalteng Pos, 21/12/05) dan penolakan ribuan warga terhadap perkebunan sawit di Seruyan Tengah dan Hulu (Kompas, 15/11/05) merupakan contoh lainnya. Cenderung meningginya sengketa lahan antara masyarakat lokal dan pihak PBS perkebunan sawit mengindikasikan bahwa adanya keraguan masyarakat lokal terhadap iming-iming sawit sebagai solusi bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Atau diperkirakan masyarakat lokal selama ini merasa hanya dijadikan penonton kehadiran para investor sawit tersebut didaerah mereka dan paling-paling kalau dilibatkan hanya sebatas buruh kasar saja. Dan disisi PBS sendiri kemungkinan tingkat kepekaan dan corporate social responsibility-nya terhadap masyarakat disekitarnya masih rendah sehingga persoalan-persoalan sengketa tersebut menjadi mengemuka di permukaan.
Kisruh konversi kawasan konservasi dan lindung untuk dijadikan penggunaan lain seperti perkebunan, tambang dan infrastruktur jalan juga cukup mengemuka ditahun 2005. “Tiga Perusahaan Rambah TNTP”, demikian salah satu headline Kalteng Pos (1/10/05). Kisruh pembangunan jalan di kawasan Taman Nasional Sebangau (Kompas, 29/12/05 dan Kapos,17, 28,29/12/05) merupakan isu terbaru konflik kawasan konservasi dan pembangunan infrastruktur.
Isu berikutnya adalah masalah penanganan kawasan eks Proyek Lahan Gambut satu juta hektar. Proyek karya orde baru tersebut hampir sepuluh tahun dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan yang berarti oleh pihak Pemerintah Pusat selaku inisiator proyek. Akibatnya, PLG menjadi salah satu sumber persoalan lingkungan hidup yang besar di Kalimantan Tengah seperti kebakaran hutan dan lahan gambut dan kegiatan penebangan illegal. Belum lagi persoalan sosial lainnya yang berhubungan dengan para warga trans yang mencapai 11.000-an yang masih bertahan di wilayah tersebut. Beruntung ada beberapa lembaga swadaya masyarakat yang selama ini konsen dan dalam skala kecil mencoba merestorasi kawasan terutama yang bergambut tebal dengan melakukan kegiatan penabatan kanal guna meminimalisir degradasi lahan gambut akibat kebakaran hutan dan lahan. Beruntung lagi, Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah melalui Gubernur yang baru berencana untuk merekonstruksi dan merehabilitasi mega proyek tersebut. Namun, sekali lagi bahwa proses rekonstruksi tersebut harusnya melibatkan semua stakeholders, sejak tahap perencanaan sehingga hasil yang dicapai bisa optimal di masa akan datang. Merekonstruksi eks PLG bukan persoalan mudah, karena itu dibutuhkan data yang akurat dan up to date bila ingin perencanaan terintegrasi yang dibuat efektif, efisien dan memberikan hasil optimal.
Menyikapi dan merefleksi berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi Kalimantan Tengah seperti diuraikan tersebut diatas, maka beberapa persoalan mendasar yang diprediksikan menjadi pangkal persoalan munculnya persoalan-persoalan tersebut, antara lain:
Pertama, ketidakseimbangan dan disharmonisasi pelaksanaan pilar pokok pembangunan antara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Selama ini, mau tidak mau, suka tidak suka, pembangunan ekonomi selalu menjadi prioritas, sedangkan pembangunan sosial dan lingkungan hidup kurang mendapat perhatian bahkan sering kedua pilar tersebut dipandang sebagai subordinat dari pembangunan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang baik semestinya mencoba menyeimbangkan ketiga pilar pokok pembangunan tersebut atau sering disebut dengan istilah sustainable development. Karena apalah arti capaian kegiatan pembangunan ekonomi, apabila kemudian terjadi kerusakan akibat bencana lingkungan hidup dan sosial. Justru prestasi pembangunan ekonomi bisa lenyap seketika apabila bencana alam dan sosial terjadi, sedangkan masyarakat justru ikut menanggung beban sosial (social costs) akibat bencana itu.
Kedua, adanya dikotomi antara pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi. Sering kaum developmentis memandang bahwa usaha-usaha pembangunan konservasi merupakan penghambat kegiatan pembangunan ekonomi. Padahal bila dipahami dan dimengerti lebih dalam kedua konsep pembangunan tersebut dapat dijalankan secara simultan dan inklusif. Apalagi pembangunan ekonomi Kalimantan Tengah yang berbasis sumberdaya alam (natural resources base policy), sangat membutuhkan sinergi antara pembangunan ekonomi di satu pihak dan konservasi di lain pihak. Banyak contoh negara-negara di dunia yang bisa kaya raya padahal sumberdaya alamnya miskin (Singapura, Australia). Justru propinsi Kalimantan Tengah yang kaya akan sumberdaya alam tetapi penduduknya miskin. Penyebab hal ini bukan karena adanya dikotomi antar pembangunan dan konservasi, melainkan terletak pada lemahnya manajemen pembangunan dan implementasi dari good governance.
Ketiga, belum optimalnya pelibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Mestinya semangat otonomi tidak menjadi monopoli aparatur pemerintah daerah, melainkan bagaimana semangat tersebut merasuk keseluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat lewat pelibatan stakholders secara optimal baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pembangunan. Memang diakui bahwa sistem perencanaan pembangunan daerah selama era otonomi sudah sudah memadukan antara sistem bottom and top down planning, seperti tercermin dalam pelaksanaan musrenbangdes, musrenbangcam, musrenbang kabupaten dan musrenbang propinsi. Namun, adakah yang menjamin bahwa apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi pembangunan masyarakat melalui keputusan musrenbang desa dan atau kecamatan terakomodir dalam program pembangunan kabupaten/Kota dan Propinsi. Penulis sendiri meragukan hal tersebut. Pelaksanaan proses perencanaan seperti disebutkan diatas berdasarkan pengamatan penulis masih sebatas seremonial pemerintahan semata. Sikap dan perilaku aparatur pemerintah daerah mestinya jangan bersikap “narcistis”, melainkan menjadi fasilitator keinginan dan aspirasi masyarakat. Karena pemerintahan ini ada untuk melayani masyarakatnya dan bukan rakyat selalu dijadikan obyek pembangunan.
Keempat, lemahnya kualitas sumberdaya manusia baik di pemerintahan maupun di masyarakat. Karena itu fokus pembangunan sumberdaya manusia harus diprioritaskan bila ingin mengakserelasi pembangunan Propinsi Kalimantan Tengah kedepan. Kita berharap dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru, Propinsi Kalimantan Tengah dapat lebih maju lagi dan berharap pimpinan yang baru mampu meminimalisir persoalan-persoalan lingkungan hidup yang terjadi di Kalimantan Tengah di tahun 2006 dan tahun-tahun mendatang. Semoga.

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...