Friday, December 22, 2017

GLOBAL REKOGNISI KEBERHASILAN RESTORASI GAMBUT INDONESIA

Catatan dari GLF & GPI, Bonn, Jerman, 19-21 Desember 2017
Ada kejadian yang sangat menarik pada Kamis (20/12/2017) saat saya mengikuti atau menyaksikan Side Event Global Landscapes Forum (GLF) di Pavilion Jerman dengan tema: “Peatland”. Ada 3 (tiga) orang pembicara yang tampil dalam sesi tersebut yakni Prof. Hans Joosten (Greifswald University/Greifswald Mire Center), Diana Kopansky (UNEP, Coordinator GPI), dan Dr. Tobias Selatho (Ramsar Convention Secretary). Yang menarik pada sesi ini adalah ketiga presenter dalam presentasinya justru memuji-muji keberhasilan Indonesia dalam merestorasi, pengelolaan, dan proteksi lahan gambutnya baik dari segi legal framework maupun aksi-aksi nyata di lapangan (mudah-mudahan pujian ketiga orang penyaji tersebut bukan karena kehadiran saya disitu hehehe).
Prof. Hans Joosten (Greifswald University)
Prof. Hans Joosten misalnya menyatakan bahwa pada kurun waktu 2016-2017 Indonesia telah merestorasi gambutnya melebihi total luasan restorasi gambut yang dilakukan gabungan seluruh negara-negara Eropah selama ini. Bahkan Prof. Joosten menyatakan luasan capaian restorasi gambut Indonesia, tercatat sebagai keberhasilan dalam sejarah restorasi gambut global (saya percaya bahwa statement beliau ini pasti didasari data dan fakta ilmiah karena reputasi beliau sebagai ilmuwan gambut global). Oleh sebab itu, Prof. Hans Joosten menganjurkan agar negara-negara di dunia termasuk negara-negara Eropah dapat belajar dan menimba pengalaman Indonesia dalam merestorasi gambut.
Diana Konpansky (UNEP/Coordinator GPI)

Sementara itu, Diana Kopansky (UNEP) dan Tobias Selatho (Ramsar Convention) mengungkapkan pujian yang senada terutama terkait dengan keberhasilan Indonesia meletakkan fondasi regulasi yang solid dan aksi nyata kegiatan restorasi, pengelolaan, dan proteksi gambut di Indonesia. Diana Kopansky menambahkan bahwa Democratic Republic of Congo (DRC) dan Congo Republik pasca menghadiri the 2nd Partners Meeting of Global Peatlands Initiative (GPI) yang diselenggarakan di Jakarta pada Mei 2017, telah membentuk Peatland Unit (semacam lembaga pemerintah yang khusus menangani gambut) di negara masing-masing dengan belajar dari pengalaman Indonesia. Untuk itu, ketiga pembicara tersebut meminta negara-negara pemilik gambut meniru leadership Indonesia di dalam merestorasi, mengelola dan memproteksi gambutnya secara bijaksana dan berkelanjutan.
Dr. Tobias Selatho (Ramsar Convention), paling kanan
Disela-sela sesi diskusi dan tanya jawab, tiba-tiba moderator menyeletuk dengan mengatakan: “We are glad at the moment as Deputy Director of Indonesian Peatland Restoration Agency is here with us in this room, and I am now inviting him to share briefly with us about Indonesian Government experience notably in establishing legal framework for peatland management, protection and restoration”, sambil meminta petugas memberikan microphone ke saya (saya sedikit merasa terkejut dengan permintaan mendadak tersebut).

Saat diinterview Media di acara GLF
Saat diinterview Media di acara GLF
Akhirnya saya mencoba menjelaskan kepada peserta, pertama-tama, Pemerintah Indonesia dibawah leadership presiden Bpk Jokowi memilki komitmen yang sangat serius di dalam pengelolaan, perlindungan dan restorasi gambut di Indonesia. Komitmen tinggi tersebut diwujudkan dalam pengeluaran peraturan-peraturan antara lain: 1) PP No. 57/2016 tentang pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut; 2) Perpres No. 1/2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG); 3) Instruksi Presiden No. 6/2017 tentang perpanjangan moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut; 4) Permen LHK No. 14/2017 tentang Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut; 5) Permen LHK No. 15/2017 tentang Tatacara pengukuran TMA pada titik penaatan di ekosistem gambut, dan 6) Permen LHK No.16/2017 tentang Petunjuk Teknis Pemulihan Eksosistem Gamhut. Disamping peletakan fondasi regulasi tersebut, Pemerintah Indonesia bersama para pihak secara nyata melakukan restorasi gambut dalam mewukudkan target restorasi gambut minimal 2 juta ha sampai tahun 2020, imbuh saya mengakhiri paparan sebagaI respon permintaan moderator tersebut.
Dengan adanya pengakuan global tersebut tentu menjadi cambuk sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia dalam merealisasi target restorasi, pengelolaan, dan perlindungan ekosistem gambut untuk kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan fungsi, nilai dan jasa ekonomi, sosial dan lingkungan ekosistem gambut kita. Semua ini akan bisa terwujud apabila kita lakukan secara bersama-sama (collective action) dan mari kita buktikan pada dunia bahwa Indonesia adalah pemimpin dunia dalam restorasi, pengelolaan & perlindungan ekosistem gambut.

Monday, December 18, 2017

“MEWUJUDKAN GARUDA DI DADAKU”

Schipol Airport, Amsterdam (18 Desember 2017)

Perjalanan saya dengan Garuda Indonesia (GA) dengan nomor penerbangan GA88 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Schipol, Amsterdam Belanda kali ini diliputi rasa haru sekaligus bangga. Ada 2 (dua) alasan yang mendasari keharuan dan kebanggaan saya tersebut, pertama, hampir seluruh bangku kelas ekonomi dimana saya duduk terisi penuh (info dari pramugari bahwa kelas business juga terisi penuh); dan kedua, hampir lebih dari 60% penumpang kelas ekonomi tersebut diisi oleh penumpang dari manca negara (warga negara asing)!.

Terisi penuh-nya kursi penumpang GA rute internasional merupakan indikasi yang baik untuk perkembangan bisnis perusahaan milik negara yang merupakan armada kebanggaan bangsa kita saat ini. Semoga seat occupancy rate ini terus terjaga dengan baik tidak saja untuk rute Jakarta-Amsterdam tetapi juga rute-rute GA internasional lainnya, sehingga armada udara yang merupakan aset penting nasional ini terus berkembang menuju world class airline yang handal dimasa yang akan datang.
Penumpang GA 88 tujuan Schipol Amsterdam yang sebagian diisi WNA
Jumlah penumpang WNA yang nampaknya melebihi jumlah WNI tersebut menunjukkan bahwa dunia internasional sudah mulai menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap layanan (services) maupun standar keamanan (safety standard) yang dimiliki oleh GA saat ini. Dari sisi pelayanan (services standard) saya kira GA nggak jauh beda dengan airline kelas dunia lainnya (maklum saya sangat...sangat jarang pakai airlines negara lain), baik dari sisi keramah-tamahan, kesigapan pramugara/pramugarinya maupun sajian menu makanan dan minumannya. Klaim layanan yang bagus tersebut telah dibuktikan dengan diraihkan pengharagaan internasional sebagai yang terbaik khususnya cabin crew services yang disematkan oleh lembaga pemeringkat independen internasional kepada GA dalam beberapa tahun terakhir mengalahkan airline kelas dunia lainnya.
Dua Penumpang WNA yang duduk disebelah saya 
Kalau WNA saja sudah memberikan kepercayaan tinggi kepada Garuda Indonesia, bagaimana dengan kita sendiri sebagai warga Indonesia yang notabene sebagai pemilik Garuda Indonesia. Sudahkah kita bangga dan peduli dengan GA? Ataukah kita masih bangga menggunakan armada udara negara lain dibandingkan dengan armada kepunyaan sendiri, karena faktor gengsi dan privilege lainnya? Kita sering mendengungkan dan membusungkan dada dengan berucap: “Garuda di Dadaku”, sudahkah kita mewujudkan spirit nationalism tersebut dengan setia menggunakan armada GA setiap kali berpergian keluar negeri? (dengan pengecualian kecuali memang tidak ada layanan penerbangan GA ke negara yang dituju).

Apalagi kalau kita menggunakan anggaran negara untuk membiayai perjalanan tersebut, alangkah tidak etisnya kalau uang negara tersebut justru kita gunakan untuk mendukung perkembangan armada udara negara lain. Jamak ujaran bahwa harga tiket GA itu mahal, saya kiranya pendapat tersebut tidaklah sepenuhnya benar, tiket airline negara lanpun tidak murah-murah amat bahkan terkadang lebih mahal dari GA. Kendatipun misalanya harga tiket GA relatif agak mahal sedikit, toh uang yang dikeluarkan pun kembali ke negara sendiri dibandingkan dengan airline negara lain yang akan menjadi penerimaan negara tersebut.

Mari mulai saat ini kita gemakan “Garuda di Dadaku” dengan mewujudkan kecintaan kita menggunakan armada udara milik sendiri, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan saat sekarang kapan lagi. Gaungkan semangat nasionalisme kedalam tindakan nyata berpergian dengan GA mulai saat ini dan dimasa yang akan datang.

Catatan: untuk membuat tulisan ini saya tidak dibayar atau di minta atau di sponsori oleh GA, tulisan ini muncul atas kesadaran sendiri tanpa ada pengaruh atau faktor lainnya.

Wednesday, November 29, 2017

Cerita Sukses dari Tapak: “Menapaki Tangga Kesejahteraan Dengan Budidaya Kopi Liberika di Lahan Gambut”

Siapa nyana bahwa kopi Liberika yang pada awalnya dibawa oleh H. Sayuti dari Malaysia sekitar tahun 1945 ke Wilayah Jambi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di lahan gambut khususnya di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.
Pohon Kopi Liberika (Liberica)

Adalah Kelompok Tani "Sri Utomo Tiga" yang dinahkodai oleh Bapak Ridwan dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 42 orang dengan luasan kebun kopi Liberika rata-rata 2 hektar/anggota, yang berarti kurang lebih 84 hektar luasan kebun kopi secara keseluruhan yang dimiliki oleh Pak Ridwan dkk.
Biji Kopi Liberika (Liberica)
Dengan luas kebun kopi sebanyak itu, Kelompok Tani dapat memproduksi rata-rata green bean (bijih kopi yg telah bersih) 400 kg/hektar/tahun, dengan harga di tingkat tapak saat ini sekitar Rp. 42.000,- (standard) dan Rp. 65.000; (kualitas premium), berarti penerimaan bruto per hektar/tahun sekitar Rp. 16.800.000;(standard) dan Rp. 26.000.000; (premium). Kalau total penerimaan bruto tersebut dikalikan dengan total luas lahan kopi yang dimiliki Pokmas "Sri Utomo Tiga" seluas 84 hektar, maka total penerimaan bruto mereka dari penjualan green bean saja mencapai Rp. 6.720.000.000;/tahun (standard) dan Rp. 10.400.000.000/tahun (premium) atau errata penerimaan bulanan yaitu Rp.560.000.000; (standard) dan Rp. 866.666.667; (premium), jumlah penghasilan yang tidak kecil BUKAN?
Kopi Liberika Kemasan Hasil Produksi Pokmas "Sri Utomo Tiga"
Pak Ridwan dkk terus berinovasi tiada henti dalam rangka meningkatkan kualitas dan nilai produksi serta nilai tambah (value added) kopi Liberika yang mereka produksi dengan cara diversifikasi produk tidak hanya mengandalkan dari pemasaran green bean tetapi juga dalam bentuk kopi bubuk yang dikemas dengan packaging yang sangat menarik. Pokmas dengan motto CERDAS (Cukup Ekonomi, Rakyat Damai, Aman dan Sejahtera) tersebut bahkan sudah memperoleh Hak Paten terdaftar sebagai Kopi Liberika Tunggal Jambi Sejahtera dan merk kopi “Cap Jempol”.
Saya & Kadishut Prov Jambi sedang Mencicipi Kopi Liberika
Hasil Produksi Pokmas "Sri Utomo Tiga"
Menurut informasi Pak Ridwan dkk fokus pemasaran green bean produksi mereka saat ini adalah ekspor ke Singapore dan Malaysia, sementara untuk pesaran kopi bubuk kemasan menyasar pasar dalam negeri seperti Kota Jambi, Riau, Lampung dan Jakarta. Kopi Liberika bubuk kemasan cap jempol dibandrol dengan harga Rp. 25.000;/100 gram dan Rp. 75.000;/250 gram.
Bersama Ketua Pokmas "Sri Utomo Tiga" Bpk Ridwan dan
Kadishut Provinsi Jambi Bpk Ir. Irmansyah, MM
Untuk memperluas produksi dan cakupan pasar serta memperbaiki kualitas produksi menuju ke grade premium, maka Pokmas "Sri Utomo Tiga" mengajukan proposal revitalisasi ekonomi (R3) Badan Restorasi Gambut (BRG), proposal tersebut mendapat persetujuan dan dukungan dari Kedeputian Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan pada tahun 2017 ini. Dukungan program R3 BRG dipergunakan untuk pembangunan DOM untuk penjemuran/pengeringan green bean dengan dengan ukuran 6x2 meter dengan kapasitas 500 kg bijih kopi/sekali penjemuran; gudang penyimpanan hasil pengeringan dengan dimensi 6x12 meter; mesin sortase, mesin huller penggilingan; dan mesin untuk pengemasan/pembungkusan. 
Dom Media Penjemuran Kopi
Dengan adanya bantuan R3 BRG Pokmas "Sri Utomo Tiga" mentargetkan khusus memproduksi green bean kualitas premium dengan tujuan ekspor ke luar negeri dan berharap langkah ini merupakan langkah awal untuk peningkatan produksi dan jangkauan pemasaran yang lebih luas dengan brand kopi Liberika khusus, sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat Desa Mekar Jaya umumnya dan Pokmas "Sri Utomo Tiga" khususnya dapat meningkat di masa yang akan datang dan lahan gambut sebagai media untuk kultivasi kopi Liberika dapat terpelihara dengan baik.
Usaha dan upaya yang dilakukan oleh Pak Ridwan dkk diharapkan dapat direplikasi dan ditiru oleh Pokmas-pokmas lain di wilayah target restorasi gambut, Semoga.

Pak Ridwan (Ketua Pokmas "Sri Utomo Tiga")
Catatan: berdasarkan pengamatan visual dan informasi singkat anggota Pokmas bahwa lahan gambut yang ditanami kopi Liberika dapat dikategorikan sebagai gambut pantai atau transisi yg dipengaruhi pasang-surut (pasut) dan limpasan air Sungai Batanghari tingkat dekomposisi gambut hemik-saprik. Dengan demikian untuk pembudidyaaan pada daerah gambut pedalaman (inland peat) perlu kajian lebih lanjut.

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...