Tidak terasa kita sudah berada di penghujung tahun 2005 dan bersiap-siap menyongsong tahun baru 2006. Berbagai peristiwa, pernak-pernik, warna dan dinamika peristiwa yang berhubungan dengan lingkungan hidup di Kalimantan Tengah telah dialami dan dilewati oleh masyarakat Kalimantan Tengah sepanjang tahun 2005.
Sepanjang tahun 2005 potret lingkungan hidup di Kalimantan Tengah tidak beranjak baik kalau tidak mau dikatakan cenderung buram dibandingkan sebelumnya. Bahkan skala dan intensitas persoalan lingkungan hidup cenderung besar dan kompleks seiring dengan derap langkah pembangunan yang telah dilakukan.
Peristiwa lingkungan hidup yang selama ini sudah menjadi ikon Kalimantan Tengah seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, illegal logging, penurunan kualitas air akibat pertambangan emas tanpa ijin, sengketa lahan antara warga masyarakat dan perkebunan skala besar (PBS), kisruh konversi kawasan konservasi dan lindung untuk kegiatan pembangunan lainnya dan penanganan kawasan eks PLG satu juta hektar nampaknya semakin jamak untuk didengar maupun dilihat sepanjang tahun 2005.
Liputan tentang peristiwa banjir beserta dampak negatif yang ditimbulkannya menjadi menu wajib harian media cetak dan elektronik selama bulan Januari tahun 2005 dan kemudian peristiwa serupa terulang dan terjadi kembali dipenghujung tahun 2005. Tangisan, rintihan dan keluhan masyarakat yang tertimpa dan kelihangan harta benda bahkan nyawa akibat peristiwa banjir tersebut terdengar dan terlihat dimana-mana. Fenomena banjir tampaknya memperlihat intensitas dan frekwensi yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin rusaknya kawasan hutan penyangga (bufferzone) pada bagian hulu dan kawasan hutan rawa gambut dibagian hilir. Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat dan pemerintah Kalimantan Tengah dalam menghadapi peristiwa dan kemarahan alam tersebut, kecuali menggerutu dan mencoba saling menyalahkan dan sangat langka terdengar adanya kesadaran untuk menemukenali akar masalah terjadinya banjir yang merupakan langganan tahun tersebut.
Begitu juga sekitar bulan Agustus hingga akhir September 2005, setiap hari kita disuguhi dan menikmati kabut asap akibat kegiatan pembakaran hutan dan lahan. komplain dan kejengkelan akibat kabut asap tersebut tidak saja terdengar di Propinsi Kalimantan Tengah, bahkan menjalar sampai negara tetangga khususnya Malaysia. Sekolah, kantor dan bandara di Kuala Lumpu dan Petaling Jaya Malaysia tutup dan lumpuh beberapa minggu akibat kabut asap kiriman dari Kalimantan dan Sumatera (The Jakarta Post, 12/8/05). Kembali lagi bahwa kita tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi dan menanggulangi asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun tersebut, kecuali ramai-ramai berdebat dan berhitung tentang jumlah titik panas (hotpsots). Usaha preventif seperti adanya Perda Propinsi No. 5 tahun 2003 dan Perda Kota No. 7 tahun 2003, kelihatan masih tidak dapat diandalkan sebagai instrumen pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Begitu juga upaya kuratif melalui kegiatan pemadaman dilapangan oleh berbagai kelompok Tim serbu Api nampaknya masih belum optimal karena dihadapkan pada persoalan teknis maupun non teknis seperti kekurangan pendanaan, peralatan dan personil. Akhirnya kita harus mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa dan alam itu sendiri yang mampu mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.
Terkait persoalan penebangan hutan secara illegal (illegal logging), nampaknya menunjukkan intensitas yang agak menurun di tahun 2005. Penyebabnya masih belum diketahui, apakah karena tingkat kesadaran para pihak sudah mulai tumbuh tentang dampak negatif illegal logging ataukah memang kawasan hutan yang bisa dieksploitasi sudah semakin tipis. Namun, kemungkinan besar sebab yang disebutkan terakhir yang menyebabkan kasus illegal logging berkurang cukup signifikan di Kalimantan Tengah dan hal ini terlihat dari data jumlah hutan yang terdegradasi di Kalimantan Tengah yang cenderung bertambah, dimana data terakhir menunjukkan angka hampir tujuh juta hektar (Kalteng Pos, 13 September 2005).
Penurunan kualitas air sungai-sungai besar di propinsi Kalimantan Tengah akibat kegiatan penambangan emas tanpa ijin (PETI), pembuangan limbah industri perkebunan dan kegiatan logging memperlihatkan trend yang menaik. Keluhan masyarakat tentang matinya ribuan ekor ikan milik masyarakat di Desa Kabuau, Kecamatan Parenggean, yang diperkirakan akibat buangan limbah salah satu industri kelapa sawit (Palangka Post, 11 Agustus 2005) ke Sungai Tualan merupakan salah satu contoh. Kemudian hasil temuan PPLH UNPAR dan Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Murung Raya tentang kualitas air sungai Barito yang memburuk (Kaltengpos, 17/12/05), merupakan contoh lainnya. Sekali lagi bahwa persoalan kualitas air sungai yang menjadi sumber kehidupan manusia akan menjadi persoalan besar di Kalimantan Tengah dimasa akan datang bila persoalan penurunan kualitas air ini tidak segera ditangani dan ditanggulangi. Haruskah seluruh masyarakat mengkonsumsi air mineral kemasan yang harganya jauh lebih mahal ketimbang harga BBM dimasa akan datang?. Bila ini terjadi berarti begitu ironis, sebab Kalimantan Tengah memiliki 11 sungai besar yang semestinya dapat dijadikan pontensi sumber air tawar terbesar dimasa akan datang dan potensi emas biru atau blue gold meminjam istilah Barlow dan Clarke, 2002, dapat menjadi aset ekonomi luar biasa di Kalimantan Tengah pada waktu akan datang bila dikelola secara baik.
Sengketa lahan antara sebagian warga masyarakat dan pihak PBS sawit kelihatannya cukup signifikan terjadi di tahun 2005. Lihat saja kasus penolakan warga desa Boloi dan sekitarnya, di Kecamatan Antang Kalang terhadap kehadiran investor sawit yang dianggap mencaplok lahan perkebunan dan pekarangan mereka seperti ditulis beberapa media lokal beberapa bulan yang lalu. Kemudian penolakan 19 Kepala Desa dan BPD serta tokoh masyarakat se-Kecamatan Delang terhadap PBS di wilayah mereka (Kalteng Pos, 21/12/05) dan penolakan ribuan warga terhadap perkebunan sawit di Seruyan Tengah dan Hulu (Kompas, 15/11/05) merupakan contoh lainnya. Cenderung meningginya sengketa lahan antara masyarakat lokal dan pihak PBS perkebunan sawit mengindikasikan bahwa adanya keraguan masyarakat lokal terhadap iming-iming sawit sebagai solusi bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Atau diperkirakan masyarakat lokal selama ini merasa hanya dijadikan penonton kehadiran para investor sawit tersebut didaerah mereka dan paling-paling kalau dilibatkan hanya sebatas buruh kasar saja. Dan disisi PBS sendiri kemungkinan tingkat kepekaan dan corporate social responsibility-nya terhadap masyarakat disekitarnya masih rendah sehingga persoalan-persoalan sengketa tersebut menjadi mengemuka di permukaan.
Kisruh konversi kawasan konservasi dan lindung untuk dijadikan penggunaan lain seperti perkebunan, tambang dan infrastruktur jalan juga cukup mengemuka ditahun 2005. “Tiga Perusahaan Rambah TNTP”, demikian salah satu headline Kalteng Pos (1/10/05). Kisruh pembangunan jalan di kawasan Taman Nasional Sebangau (Kompas, 29/12/05 dan Kapos,17, 28,29/12/05) merupakan isu terbaru konflik kawasan konservasi dan pembangunan infrastruktur.
Isu berikutnya adalah masalah penanganan kawasan eks Proyek Lahan Gambut satu juta hektar. Proyek karya orde baru tersebut hampir sepuluh tahun dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan yang berarti oleh pihak Pemerintah Pusat selaku inisiator proyek. Akibatnya, PLG menjadi salah satu sumber persoalan lingkungan hidup yang besar di Kalimantan Tengah seperti kebakaran hutan dan lahan gambut dan kegiatan penebangan illegal. Belum lagi persoalan sosial lainnya yang berhubungan dengan para warga trans yang mencapai 11.000-an yang masih bertahan di wilayah tersebut. Beruntung ada beberapa lembaga swadaya masyarakat yang selama ini konsen dan dalam skala kecil mencoba merestorasi kawasan terutama yang bergambut tebal dengan melakukan kegiatan penabatan kanal guna meminimalisir degradasi lahan gambut akibat kebakaran hutan dan lahan. Beruntung lagi, Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah melalui Gubernur yang baru berencana untuk merekonstruksi dan merehabilitasi mega proyek tersebut. Namun, sekali lagi bahwa proses rekonstruksi tersebut harusnya melibatkan semua stakeholders, sejak tahap perencanaan sehingga hasil yang dicapai bisa optimal di masa akan datang. Merekonstruksi eks PLG bukan persoalan mudah, karena itu dibutuhkan data yang akurat dan up to date bila ingin perencanaan terintegrasi yang dibuat efektif, efisien dan memberikan hasil optimal.
Menyikapi dan merefleksi berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi Kalimantan Tengah seperti diuraikan tersebut diatas, maka beberapa persoalan mendasar yang diprediksikan menjadi pangkal persoalan munculnya persoalan-persoalan tersebut, antara lain:
Pertama, ketidakseimbangan dan disharmonisasi pelaksanaan pilar pokok pembangunan antara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Selama ini, mau tidak mau, suka tidak suka, pembangunan ekonomi selalu menjadi prioritas, sedangkan pembangunan sosial dan lingkungan hidup kurang mendapat perhatian bahkan sering kedua pilar tersebut dipandang sebagai subordinat dari pembangunan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang baik semestinya mencoba menyeimbangkan ketiga pilar pokok pembangunan tersebut atau sering disebut dengan istilah sustainable development. Karena apalah arti capaian kegiatan pembangunan ekonomi, apabila kemudian terjadi kerusakan akibat bencana lingkungan hidup dan sosial. Justru prestasi pembangunan ekonomi bisa lenyap seketika apabila bencana alam dan sosial terjadi, sedangkan masyarakat justru ikut menanggung beban sosial (social costs) akibat bencana itu.
Kedua, adanya dikotomi antara pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi. Sering kaum developmentis memandang bahwa usaha-usaha pembangunan konservasi merupakan penghambat kegiatan pembangunan ekonomi. Padahal bila dipahami dan dimengerti lebih dalam kedua konsep pembangunan tersebut dapat dijalankan secara simultan dan inklusif. Apalagi pembangunan ekonomi Kalimantan Tengah yang berbasis sumberdaya alam (natural resources base policy), sangat membutuhkan sinergi antara pembangunan ekonomi di satu pihak dan konservasi di lain pihak. Banyak contoh negara-negara di dunia yang bisa kaya raya padahal sumberdaya alamnya miskin (Singapura, Australia). Justru propinsi Kalimantan Tengah yang kaya akan sumberdaya alam tetapi penduduknya miskin. Penyebab hal ini bukan karena adanya dikotomi antar pembangunan dan konservasi, melainkan terletak pada lemahnya manajemen pembangunan dan implementasi dari good governance.
Ketiga, belum optimalnya pelibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Mestinya semangat otonomi tidak menjadi monopoli aparatur pemerintah daerah, melainkan bagaimana semangat tersebut merasuk keseluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat lewat pelibatan stakholders secara optimal baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pembangunan. Memang diakui bahwa sistem perencanaan pembangunan daerah selama era otonomi sudah sudah memadukan antara sistem bottom and top down planning, seperti tercermin dalam pelaksanaan musrenbangdes, musrenbangcam, musrenbang kabupaten dan musrenbang propinsi. Namun, adakah yang menjamin bahwa apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi pembangunan masyarakat melalui keputusan musrenbang desa dan atau kecamatan terakomodir dalam program pembangunan kabupaten/Kota dan Propinsi. Penulis sendiri meragukan hal tersebut. Pelaksanaan proses perencanaan seperti disebutkan diatas berdasarkan pengamatan penulis masih sebatas seremonial pemerintahan semata. Sikap dan perilaku aparatur pemerintah daerah mestinya jangan bersikap “narcistis”, melainkan menjadi fasilitator keinginan dan aspirasi masyarakat. Karena pemerintahan ini ada untuk melayani masyarakatnya dan bukan rakyat selalu dijadikan obyek pembangunan.
Keempat, lemahnya kualitas sumberdaya manusia baik di pemerintahan maupun di masyarakat. Karena itu fokus pembangunan sumberdaya manusia harus diprioritaskan bila ingin mengakserelasi pembangunan Propinsi Kalimantan Tengah kedepan. Kita berharap dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru, Propinsi Kalimantan Tengah dapat lebih maju lagi dan berharap pimpinan yang baru mampu meminimalisir persoalan-persoalan lingkungan hidup yang terjadi di Kalimantan Tengah di tahun 2006 dan tahun-tahun mendatang. Semoga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT
On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...
-
Warna ku hitam kecoklat-coklatan tak manarik mata dan minus estetika; Ragam sebutan nusantara dipatrikan pada diriku: tanah hitam, peta...
-
Sumber: Harian Kompas, Jumat, 25 April 2008 | 00:19 WIB Oleh Try Harijono dan C Anto Saptowalyono Suasananya sangat berbeda. Kawasan di seki...
-
Oleh: Alue Dohong Di dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah usaha dan upaya konservasi dan perlindungan terhadap sumbe...
No comments:
Post a Comment