Tuesday, September 19, 2006

Prospek Perdagangan Karbon Hutan Melalui Mekanisme Pembangunan Bersih

Pendahuluan
Hasil laporan para ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC) yang diterbitkan pada tahun 1990 memperingatkan dunia tentang adanya bahaya perubahan iklim bagi kehidupan seluruh umat manusia dan merekomendasikan perlunya suatu kesepakatan dan upaya global untuk mengatasi masalah perubahan iklim tersebut.
Kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1990 merespon rekomendasi tersebut dengan membentuk forum negosiasi yang disebut Komite Negosiasi Antar Pemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee-INC) dan akhirnya pada bulan Mei 1992, komite tersebut menyepakati adanya Konvensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change – UNFCCC).
Konvensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCC) mulai ditandatangani pada saat pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Janeiro, Brazil pada tahun 1992, sehingga setelah diratifikasi oleh 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994 Konvensi Perubahan Iklim dinyatakan berkekuatan hukum dan mengikat secara hukum (legally binding) kepada para pihak yang meratifikasinya, termasuk Indonesia sebagai penandatangan konvensi ikut meratifikasi melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Salah satu tujuan pokok dari konvensi perubahan iklim (UNFCCC) adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) pada tingkat yang aman yang tidak mengganggu sistem iklim secara global. Sehingga konvensi akhirnya membagi para pihak kedalam dua kelompok yaitu kelompok negara maju dan industri yang dikenal sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ke atmosfer dengan sebutan Annex I dan negara-negara berkembang dalam kelompok Non-Annex I. Dengan menjunjung tinggi kesetaraan dan adanya prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities), konvensi mewajibkan negara-negara maju (Annex I) untuk melakukan upaya-upaya nyata di dalam negeri masing-masing guna menurunkan konsentrasi emisi Gas Rumah Kaca di atmosfer, sedangkan negara-negara berkembang (Non-Annex I) tidak ada kewajiban namun dapat berpartisipasi sebagai wujud tanggung jawab bersama tadi.
Selanjutnya untuk mengimplementasi konvensi dan memperkuat komitmen negara-negara maju (Annex I) dalam mengatasi perubahan iklim melalui pertemuan para pihak (Conference of the Parties-COP) yang pertama kali dilaksanakan di Berlin pada tahun 1995, disepakati lewat Berlin Mandate perlu adanya suatu bentuk protokol yang mengatur tanggung jawab dan komitmen nyata masing-masing anggota Annex I terhadap penurunan gas rumah kaca. Setelah melalui proses negosiasi panjang dan perdebatan sengit hampir dua tahun antara negara-negara maju dan negara berkembang, maka pada saat konferensi para pihak (Conference of Parties – COP) III tahun 1997 di Kyoto Jepang, telah diasposi suatu protokol yang dikenal dengan sebutan “Kyoto Protocol”.
Kyoto Protocol mewajibkan secara hukum negara-negara yang tergabung dalam Annex I secara bersama-sama untuk menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990, pada periode komitmen pertama tahun 2008-2012. Kyoto protocol juga mengatur penjatahan jumlah emisi gas rumah kaca yang wajib diturunkan oleh masing-masing anggota Annex I. Misalnya Amerika Serikat wajib menurunkan 36,1% dari jumlah total karbon dioksida (CO2) sebanyak 4.957.002 giga yang diemisi oleh negara tersebut pada tahun 1990.
Kendati Kyoto Protocol sudah diadopsi, namun tidak bisa segera diimplementasikan, karena masih belum memiliki kekuatan hukum sebab tidak semua negara khususnya negara maju yang tergabung dalam Annex I melakukan ratifikisi segera atas protokol tersebut. Padahal telah dipersyaratkan, bahwa protokol akan berlaku (entry into force) sembilan puluh hari setelah diratifikasi minimal 55 negara dan total emisi negara Annex I yang telah meratifikasi minimal sebesar 55% dari seluruh emisi negara Annex I di tahun 1990. Bahkan yang lebih parah lagi, Amerika Serikat yang merupakan negara pengemisi karbon terbesar di dunia menyatakan menarik diri dari protokol pada bulan Maret 2001. Sehingga pada Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties – COP) ke IX di Milan Italia tahun 2003 kyoto protokol juga belum diberlakukan.
Namun beruntung masih ada negara maju yang tergabung dalam Annex I yang memiliki kesadaran dan kepedulian tinggi terhadap masalah perubahan iklim yaitu Rusia. Rusia dengan total kewajiban emisi sebesar 17,4% untuk pertama kalinya menyatakan meratifikasi Kyoto Protocol pada bulan Desember 2004 dan dengan diratifikasi oleh Rusia maka persyaratan diberlakukanya protokol sudah dipenuhi. Sehingga lewat pertemuan para pihak (Conference of Parties – COP ) ke X di Boenes Aires, Argentina pada bulan Desember 2004 ditetapkan bahwa Kyoto Protocol akan diberlakukan (Entry into force) dan mengikat secara hukum pada tanggal 16 Februari 2005 atau beberapa hari lagi.
Bagi negara-negara berkembang yang tergabung dalam Non-Annex I, tidak ada kewajiban dalam meratifikasi Kyoto Protokol karena memang tidak diwajibkan untuk ikut menurunkan emisi karbon. Akan tetapi apabila negara-negara berkembang tidak meratifikasi protokol maka mereka juga tidak diperkenankan untuk terlibat melaksanakan proyek penurunan emisi karbon sebagaimana skema penurunan emisi yang diatur dalam Kyoto Protokol. Sehingga hal tersebut juga dapat merugikan negara berkembang karena hilangnya kesempatan yang untuk memperoleh proyek-proyek karbon dari negara-negara maju. Indonesia sendiri telah meratifikasi Kyoto Protocol melalui Undang-Undang No. 17 tahun 2004 tanggal 19 Oktober 2004 dan dengan demikian Indonesia juga bisa memperoleh kesempatan untuk terlibat sebagai tuan rumah implementasi proyek penurunan emisi Karbon.
Selanjutnya untuk melaksanakan komitmen dan jatah emisi Annex I yang telah ditetapkan pada Kyoto Protokol, ditetapkan tiga mekanisme fleksible yang dapat dilakukan, yaitu: (1) Implementasi Bersama (Joint Implementation-JI), yaitu proyek investasi penurunan emisi gas rumah kaca yang hanya dilakukan antar negara maju yang tergabung dalam Annex I. Hasil proyek ini masing-masing negara peserta akan memperoleh imbalan berupa Unit Penurunan Emisi (Emission Reduction Unit – ERU); (2) Perdagangan Emisi Internasional (International Emission Trading), yaitu perdagangan Unit Penurunan Emisi (ERU) yang juga hanya berlaku antara negara maju tergabung dalam Annex I; dan (3) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism-CDM) merupakan gabungan antara Implementasi Bersama (JI) dan Perdagangan Emisi Internasional (IET), yang dapat dilaksanakan antara negara-negara maju Annex I dan negara-negara berkembang tergabung dalam Non-Annex I. Kegiatan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB/CDM) akan menghasilkan apa yang disebut dengan istilah Emisi Disertifikasi (Certified Emission Reduction – CERs).
Tulisan ini mencoba untuk mengulas secara singkat tentang Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanisme-CDM) yang merupakan satu-satunya meknisme fleksibel dalam Kyoto Protocol yang dapat dilaksanakan antara negara-negara maju (Annex I) dan Negara Berkembang (Non-Annex I), khususnya Mekanisme Pembangunan Bersih pada sektor kehutanan.

Mekenisme Pembangunan Bersih (MPB)
Mekanisme Pembangunan Bersih atau lebih dikenal dengan istilah atau Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu mekanisme fleksible dalam Kyoto Protocol selain Implementasi Bersama (joint implementation-JI) dan Perdagangan Emisi International (International Emission Trading-IET), yang memungkin negara maju untuk melakukan kegiatan investasi di negara berkembang dalam rangka memenuhi kewajiban penurunan emisinya. Bentuk kerjasama investasi bidang Mekanisme Pembangunan Bersih dapat berupa pendanaan bilateral, pendanaan multilateral dan pendanaan unilateral.
Dengan demikian, paling tida ada dua mutual benefit yang bisa diperoleh baik bagi negara maju maupun negara berkembang dengan mengimplementasi MPB, yaitu: (1) membantu negara maju dalam memperoleh jatah penurunan emisinya lewat Certified Emissin Reduction (CERS) yang diperoleh dari kegiatan investasi MPB; dan (2) membantu transfer teknologi dan promosi kegiatan pembangunan berkelanjutan bagi negara berkembang sekaligus partisipasi negara berkembang dalam stabilisasi iklim global.
Mekanisme Pembangunan Bersih merupakan mekanisme investasi berbasis pasar, sehingga agar lebih menarik minat investor maka MPB sendiri harus lebih kompetitif dibandingkan dua mekanisme lainnya (lihat Mudiyarso, 2003). Kompetisi tersebut dapat diciptakan melalui biaya investasi penurunan emisi yang murah dan juga sistim kelembagaan baik ditingkat internasional dan nasional yang relatif efisien dan tidak berbelit-belit.
Sektor yang dapat dikembang melalui kegiatan Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu (i) sektor yang kegiatan utamanya bertujuan menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca; dan (ii) sektor yang kegiatan utamanya bertujuan untuk menyerap gas rumah kaca dari atmosfer. Kategori pertama umumnya sektor-sektor yang memanfaatkan energi seperti listrik, transportasi, industri, komersil, rumah tangga dan persampahan; sedangkan kategori kedua adalah sektor kegiatan non-energi yang sering juga disebut sebagai carbon sequestration, seperti kegiatan sektor kehutanan.
Dari sisi kelembagaan, Mekanisme Pembangunan Bersih memiliki kelembagaan tingkat internasional berupa Badan Pelaksana MPB (CDM Executive Board) dan juga kelembagaan tingkat nasional yang disebut Badan Otorita Nasional MPB (Designated National Authority-DNA). Tugas utama dari Badan Pelaksana MPB adalah menerima secara resmi pengusulan proyek MPB dan menerbit CERs (certified emission reduction) yang dihasilkan oleh proyek MPB tersebut. Sedangkan Badan Otorita Nasional MPB (DNA) memiliki tugas utama untuk menerima atau menolak usulan proyek MPB yang diajukan oleh pengembang proyek berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan baru kemudian mengajukan usulan proyek MPB ke Badan Pelaksana MPB tingkat internasional.
Agar dapat terlibat dalam kegiatan pengembangan proyek MPB, maka syarat utama yang harus dimiliki negara berkembang termasuk Indonesia adalah sudah terbentuknya Badan Otorita Nasional MPB (Designated National Authority-DNA). Dalam kaitan ini setelah diratifikasinya Kyoto Protocol, Pemerintah Indonesia juga telah membentuk Badan Otorita MPB yang disebut dengan nama Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB). Namun, sangat disayangkan Komnas MPB masih belum menjalankan fungsi sebagaimana mestinya dan terkesan lambat dalam bertindak. Tugas-tugas yang berhasil dilaksanakan selama ini masih terbatas pada pembenahan struktur dan tugas-tugas Komnas MPB serta penetapan kriteria pembangunan berkelanjutan. Sedangkan hal-hal yang bersifat teknis dan pengembangan kapasitas masih sangat jauh dari yang diharapkan. Informasi tentang Komnas MPB dapat diakses oleh pembaca lewat website: http://dna-cdm-menlh.go.id/
Disamping kedua lembaga tersebut diatas, aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan proyek MPB antara lain: (i) partisipan proyek, yaitu pihak yang mengajukan proyek MPB dan bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaan proyek MPB di lapangan; (ii) Badan Validator (Operational Entity-OE), yaitu badan yang bertugas membantu Badan Pelaksana MPB Internasional melakukan kegiatan validasi dan verifikasi proyek MPB, termasuk memverifikasi apakah proyek MPB yang diusulkan sudah memperoleh persetujuan Badan Otorita Nasional MPB atau belum. Oleh sebab itu keberadaan Badan Validator harus memperoleh akreditasi dari Badan Pelaksana MPB internasional (CDM executive Board); (iii) Investor, dapat dibedakan atas investor yang hanya membeli emisi yang disertifikasi (CERs) dan investor yang menanamkan modalnya langsung dalam proyek MPB dan memperoleh imbalan berupa emisi yang disertifikasi (CERs); dan (iv) pihak asuransi yang bertugas memberikan jaminan penyampaian (delivery) Emisi yang Disertifikasi (CERs) dari pengembang proyek ke pihak investor. Sebagai suatu proyek, MPB memiliki siklus proyek yang jelas dan bertahap sesuai dengan kententuan yang telah ditetapkan oleh Badan Pelaksana MPB Internasional. Siklus proyek MPB itu sendiri terdiri dari: (i) identifikasi proyek, yaitu kegiatan mengidentifikasi apakah usulan proyek memiliki potensi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca atau tidak; (ii) desain proyek, berupa koleksi informasi dalam rangka pembuatan Dokumen Desain Proyek (Project Design Document); (iii) pembuatan Dokumen Desain Proyek (Project Design Dokumen), yang memuat informasi tentang deskripsi proyek, perhitungan emisi awal beserta metode perhitungan, perhitungan emisi yang dihasilkan proyek MPB dan metode perhitungan, periode waktu proyek, metode dan rancangan monitoring proyek, analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan komentar publik mengenai proyek tersebut; (iv) persetujuan proyek MPB oleh Badan Otorita Nasional MPB; (v) Validasi Dokumen Desain Proyek (PDD) oleh Badan Validator; (vi) registrasi/pendaftaran proyek MPB ke Badan Pelaksana MPB internasional; (vii) Implementasi proyek MPB; (viii) Pengawasan/monitoring dilakukan oleh tim monitor independen; (ix) verifikasi, hasil pengawasan akan dikaji ulang oleh badan validator untuk meneliti kebenaran implementai proyek MPB; (x) sertifkasi penurun emisi (certification of emission reduction), yaitu berupa jaminan tertulis dari badan validator independen yang menyatakan bahwa proyek MPB yang dijalankan telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sejumlah tertentu; dan (xi) Penerbitan Penurunan Emisi yang Disertfikasi (Certified Emission Reduction-CERs) oleh Badan Pelaksana MPB Internasional.

Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) di Sektor Kehutanan
Sebelum membahas tentang Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) sektor kehutanan, terlebih dahulu perlu diuraikan secara singkat tentang apa itu karbon dan perdagangan karbon hutan itu sendiri. Banyak kesimpangsiuran informasi dan pemahaman keliru yang terjadi ditengah masyarakat tentang karbon hutan dan perdagangan karbon.
Bahkan penulis sendiri pernah beberapa kali menghadapi dan menemukan pertanyaan agak menggelitik dari orang tertentu tentang perdagangan karbon. Misalnya, seseorang pernah melontarkan satu pertanyaan berikut: Pak, nanti kita mengangkut karbon itu perlu memakai kontainer atau tidak? Pertanyaan lain lagi misalnya, apakah benar nantinya dalam perdagangan karbon katanya oksigen kita dibeli oleh negara-negara maju dan kita akan dapat uang? Bahkan kalau penulis tidak keliru ada pernyataan seorang pimpinan Lembaga Swadaya Lingkungan Hidup berpengaruh dan bergelar doktor yang dilansir sebagai berita utama (headline) oleh beberapa koran lokal Kalimantan Tengah hampir dua tahun lalu yang berjudul kira-kira: “Canada akan Membeli Udara Kalteng?”. Dan mungkin ada puluhan, ratusan bahkan ribuan pertanyaan dan pernyataan bermakna jamak dan bias yang mengemuka di tengah masyarakat sehubungan dengan karbon hutan dan perdagangan karbon hutan itu sendiri. Pertanyaan dan pernyataan mengemuka seperti disebut diatas menggambarkan masih rendahnya pemahaman dan pengetahuan ditingkat masyarakat kita tentang Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) umumnya dan perdagangan karbon khususnya, sehingga pengembangan kapasitas secara intensif pada berbagai strata masyarakat dan pemerintahan sangatlah mendesak untuk dilakukan.
Kembali ke masalah karbon hutan, proyek kehutanan sebetulnya dapat ikut berperan dalam menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca khususnya gas karbon diaksoda (CO2), dalam dua bentuk (CIFOR, 2002): pertama, mencegah pelepasan karbon yang tersimpan dalam tegakan hutan ke dalam atmosfer/udara dengan cara mengurangi laju deforestasi dan mencegah kebakaran hutan; kedua, secara aktif meningkatkan stok karbon (atau dikenal sebagai sequestrasi karbon) melalui kegiatan penanaman pohon, perbaikan manajemen lahan dan memaksimumkan regenerasi alami kawasan hutan yang terdegradasi. Fungsi sequestrasi atau juga sering disebut fungsi penyerap karbon (carbon sink) hutan sangat strategis karena hutan dapat menyerapkan gas karbon dioksida (CO2) yang ada di atmosfir, yang kemudian diikat dan disimpan dalam bentuk biomassa berupa batang, dahan, ranting dan akar pohon. Semakin tinggi usia dan semakin besar pohon kayu, maka akumulasi dan kandungan karbon yang tersimpan berupa biomassa juga semakin besar. Apabila kayu atau pohon dipanen/ditebang, dan atau terjadi kebakaran hutan terjadi, misalnya, maka akan terjadi pelepasan karbon dioksida kembali ke atmosfir bumi.
Mengingat fungsi hutan yang dapat berperan dalam menyimpan dan menyerap gas karbon dioksida tersebut, maka dalam kerangka konvensi perubahan iklim muncul pemikiran menjadikan Guna Lahan, Alih Guna Lahan dan Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry atau disingkat LULUCF) sebagai salah satu alternatif mitigasi iklim global. Sehingga karbon yang tersimpan dalam bentuk biomasa (batang, dahan, ranting dan akar kayu) dapat diperdagangankan atau diperjualbelikan dalam kerangka membantu negara-negara maju (Annex I) memenuhi komitmen penurunan tingkat emisinya. Jadi sekali lagi, karbonnya tidak perlu repot-repot diangkut dengan kontainer atau kapal laut ke luar negeri, tetapi cukup disimpan dan dijaga dalam bentuk tegakan pohon pada lokasi dimana kayu atau pohon tersebut ditanam.
Kegiatan perdagangan karbon hutan itu sendiri dapat dilakukan antar negara maju yang tergabung dalam Annex I maupun antara negara maju dengan negara berkembang (non-Annex I). Kegiatan perdagangan karbon dari sektor kehutanan antara negara Annex-I dan Non-Annex I, itu sendiri dalam Kyoto Protocol diatur melalui skema Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) sektor kehutanan yang akan dijelaskan agak detail pada bagian berikut ini.
Masuk masalah kehutanan dalam kerangka mitigasi perubahan iklim khususnya dalam skema MPB Kyoto Protocol sebelumnya penuh dengan kontroversi dan silang pendapat antara negara-negara anggota Annex-I yang berasal dari Eropah, china dan juga beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat di belahan bumi Utara dengan negara-negara Afrika, negara-negara yang tergabung dalam OPEC, dan Canada dan sebagian negara di Skandinavia yang memiliki kawasan hutan cukup luas. Silang pendapat tersebut mencapai puncaknya saat gagalnya Pertemuan Para Pihak ke- 6 (COP-VI) di Hague Belanda tahun 2000.
Silang pendapat dan konstroversi terjadi karena pihak yang kontra terhadap dimasukannya sektor kehutanan dalam skema MPB meragukan fungsi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang sifatnya hanya sementara atau tidak permanen (non-permanence), karena apabila hutan dieksploitasi/dipanen, terjadi kebakaran hutan atau terserang penyakit maka akan terjadi pelepasan karbon kembali ke udara/atmosfir. Persoalan lain adalah adanya keraguan sebagian negara-negara anggota Annex I dan LSM Barat tentang kemampuan negara-negara berkembang dalam mengelola dan melindungi hutannya serta adanya kekuatiran bahwa proyek MPB sektor kehutanan justru akan mendorong laju deforestasi dan perubahan status kawasan hutan. Sementara dari pihak yang mendukung terhadap masuknya sektor kehutanan dalam MPB, menekankan masalah perlunya konpensasi bagi negara-negara yang mempertahankan hutannya bagi mitigasi perubahan iklim global dan juga perlunya tanggung jawab negara maju (Annex I) terhadap akibat negatif yang harus ditanggung oleh negara berkembang (Non-Annex I) akibat adanya perubahan iklim global.
Kebuntuan dan kontroversi tersebut akhirnya mencair dan diperoleh jalan tengah pada saat dilaksanakan Konferensi Para Pihak ke-6 bagian II (COP VI-vis) yang merupakan lanjutan COP VI yang dilaksanakan di Bonn, Jerman tahun 2001. Melalui Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) disepakati bahwa MPB sektor kehutanan hanya dibatasi pada kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) sedangkan kegiatan pencegahan deforestasi (avoiding deforestation) ditolak.
Berikutnya pada saat Pertemuan Para Pihak ke-7 (COP-VII) bulan Nopember 2001 di Marrakesh, Maroko, menghasilkan kesepakatan Marakesh Accord yang salah satunya mengadopsi keputusan Decision 17/CP7, yang mengatur tentang tata cara dan prosedur (modalities and procedure) kegiatan Guna Lahan, Tata Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF) yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme MPB. Keputusan tersebut menyepakati tiga hal utama, yaitu: pertama, kegiatan MPB kehutanan hanya berlaku untuk periode komitmen pertama tahun 2008-2012; kedua, kegiatan MPB sektor kehutanan hanya terbatas pada kegiatan Aforestasi dan Reforestasi; dan ketiga, kegiatan MPB sektor kehutanan tidak boleh lebih dari 1% total emisi pihak investor Annex-I.
Kemudian juga hal prinsip yang disepakati di Marakesh Accord yang berkaitan dengan MPB sektor kehutanan adalah (i) Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimum 0,5 – 1 hektar, dengan lebih dari 10-30 persennya ditumbuhi tanaman dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2-5 meter. Wilayah hutan dapat merupakan hutan tertutup atau terbuka dengan berbagai jenis tumbuhan; (ii) Aforestasi (Afforestation) adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal dalam 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi area hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan atau aktivitas lain yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam; (iii) Reforestasi (Reforestation) adalah aktivitas langsung yang dilakukan manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui kegiatan penanaman, pembibitan, dan atau kegiatan lain yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan area hutan namun mengalami perubahan menjadi area bukan hutan. Pada periode komitmen Pertama (2008-2012) kegiatan reforestasi dibatasi pada area yang sudah tidak berhutan lagi sejak 31 Desember 1989 atau terhitung sejak tahun 1990.
Kesepakatan-kesepakatan dalam MPB sektor kehutanan yang dihasilkan dalam Marakesh Accord tersebut masih berlaku dan tidak mengalami perubahan hingga dilaksanakannya Pertemuan Para Pihak ke-10 (COP X) di Buenos Aires, Argentina pada tanggal 6-17 Desember 2004.

Aspek-aspek Teknis dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) Sektor Kehutanan
Ada beberapa hal yang bersifat teknis yang perlu diketahui berkaitan dengan pelaksanaan MPB sektor kehutanan. Aspek-aspek tersebut akan diuraikan secara singkat pada bagian berikut ini.
Batasan Kegiatan Aforestasi dan Reforestasi dalam MPB
Implikasi dari ditetapkannya batasan kegiatan Aforestasi dan Reforestasi (Afforestation and Reforestation-A/R) pada Marakesh Accord menyebabkan pelaksanaan MPB sektor Kehutanan melalui kegiatan Aforestasi hanya berlaku atau sah untuk kawasan yang dikategorikan sebagai lahan kritis (bukan hutan) sejak 50 puluh tahun yang lalu. Sedangkan untuk kegiatan Reforestasi hanya bisa dilakukan pada kawasan hutan yang dikategorikan sudah rusak (degraded forest) terhitung sejak tahun 1990. Implikasi lain dari pembatasan definisi dalam Marakesh Accord adalah tidak dapat dimasukkannya kegiatan konservasi hutan atau perlindungan hutan (primer dan sekunder) dalam proyek karbon dibawah skema MPB.

Masalah Baseline
Baseline merupakan suatu skenario tentang kondisi cadangan karbon hutan dan pertambahan jumlah karbon hutan yang diperoleh pada kawasan proyek jika tidak dilaksanakannya kegiatan Aforestasi dan Reforestasi MPB. Atau dengan kata lain bahwa baseline adalah jumlah cadangan dan pertambahan jumlah karbon hutan yang diciptakan oleh suatu kawasan tanpa adanya kegiatan Aforestasi dan Reforestasi.
Baseline suatu proyek sangat penting untuk diketahui, karena akan berimplikasi pada perhitungan jumlah karbon yang dihasilkan melalui kegiatan aforestasi maupun reforestasi MPB.
Metode yang digunakan dalam menghitung baseline suatu proyek karbon hutan umumnya mengikuti empat langkah berikut: (i) menghitung jumlah stok karbon sebelum dilaksanakannya proyek aforestasi atau reforestasi MPB (sering disebut dengan historical baseline); (ii) memprediksi jumlah perubahan stok karbon jika tidak dilaksanakan kegiatan aforestasi dan reforestasi MPB (sering disebut reference case); (iii) memperkirakan perubahan stok karbon akibat dilaksanakannya proyek aforestasi dan reforestasi MPB (sering disebut dengan istilah project case); dan (iv) memprediksi jumlah selisih antara stok karbon reference case dan project case. Selisih jumlah stok karbon reference case dan project case inilah yang akan disertifikasi dan bisa diperdagangan dalam bentuk Emisi Disertifikasi (CER). Emisi Disertifikasi (CER) adalah satuan penurunan emisi setara 1 ton CO2 dalam bentuk sertifikat.

Kebocoran (Leakage)
Kebocoran (leakage) adalah gambaran tentang jumlah kehilangan karbon, akibat adanya emisi karbon diluar batas proyek aforestasi dan reforestasi MPB. Misalnya terjadi penebangan hutan dan kebakaran hutan diluar batas proyek Dalam perhitungan, jumlah karbon yang mengalami kebocoran akan mengurani nilai Emisi Disertifikasi (CER) yang diperoleh proyek aforestasi dan reforestsi MPB.

Batas Proyek (Project Boundary)
Batas proyek (project boundry) dalam proyek aforestasi dan reforestasi MPB hingga saat ini masih dalam perdebatan dan diskusi. Bahkan isu batas proyek ini menjadi salah satu isu utama dan rekomendasi pokok kegiatan workshop internasional yang diikuti penulis di CIFOR tanggal 16-17 Pebruari 2005 yang baru lalu.
Pendekatan batas proyek secara fisik dan administrasi juga belum bisa diadopsi mengingat masalah emisi udara biasanya tidak mengenal batas administratif dan fisik. Sehingga ada saran untuk mengkaji secara komprehensif tentang penetapan batas proyek kegiatan aforestasi dan reforestasi MPB. Misalnya tidak hanya berdasarkan pendekatan administrasi dan fisik saja, tetapi mempertimbangkan aspek batas ekologi.

Non-Permanen (non-permanence)
Isu teknis yang juga cukup mendapat perhatian di MPB sektor kehutanan adalah masalah non-permanen, yaitu suatu keadaan dimana daya stok dan daya simpan karbon disektor kehutanan tidak bersifat permanen seperti disektor industri/energi. Karbon disektor kehutanan akan mengalami emisi kembali ke atmosfir baik secara alami maupun sengaja. Secara alami misalnya hutan mengalami batasan usia tertentu akan mati atau mengalami serangan penyakit atau kebakaran hutan sehingga terjadi proses pelepasan kembali karbon yang disimpan. Secara sengaja, misalnya penebangan atau pemanenan pohon, sehingga juga akan terjadi pelepasan kembali karbon ke atmosfer.
Ada tiga pendekatan yang bisa ditempuh dalam mengatasi isu non-permanen; pertama, dengan menerbitkan Emisi Disertifikasi Sementara (tCER) yang akan mengalami batas kadaluwarsa pada saat periode komitmen berikutnya; kedua, menerbitkan Emisi Disertifikasi jangka panjang (lCER) yang akan kadaluwarsa pada saat berakhirnya periode kredit aforestasi dan reforestasi MPB; dan ketiga, menggunakan sistem perhitungan ton tahunan (tonne-year), yaitu menghitung jumlah peroleh stok karbon setiap tahun dari kegiatan Aforestasi dan Reforestasi MPB .

Prospek Perdagangan Karbon Hutan lewat Skema MPB
Perdagangan karbon lewat skema MPB adalah skema berbasis pasar, sehingga apabila berbicara prospek perdagangan karbon maka tidak terlepas dari interaksi sisi penawaran, permintaan, harga, faktor resiko dan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan perdagangan karbon itu sendiri.
Dilihat dari sisi permintaan, jumlah permintaan karbon dari sektor kehutanan sudah bersifat rigit/kaku yaitu berdasarkan ketetapan Marrakesh Accord bahwa jumlah karbon hutan yang bisa diperdagangan lewat MPB dibatasi hanya 1% dari total emisi karbon global sebesar 14 milyar ton atau dengan kata lain volume karbon hutan yang bisa dijual oleh negara berkembang non-Annex I lewat MPB sektor kehutanan hanya sebanyak 140 juta ton karbon per tahun. Dibatasinya alokasi permintaan karbon dari MPB sektor kehutanan dilandasi dua pertimbangan pokok, pertama, bahwa kegiatan MPB sektor kehutanan hanya bersifat kegiatan tambahan yang bisa dilakukan olen negara yang tergabung dalam Annex-I dengan negara berkembang non-Annex-I, sedangkan fokus utama tetap diarahkan pada kegiatan penurunan emisi di domestik negara-negara Annex-I itu sendiri, dan kedua, guna mencegah negara Annex-I mengalihkan tanggung jawab penurunan emisinya pada sektor kehutanan di negara berkembang yang berbiaya rendah. Perlu juga diingat bahwa perdagangan karbon lewat skema MPB sektor kehutanan sudah disepakati hanya berlaku untuk periode komitmen pertama tahun 2008-2012, sedangkan untuk periode komitmen berikutnya setelah tahun 2012 kemungkinkan besar perdagangan karbon lewat MPB sektor kehutanan sudah tidak diijinkan lagi, kecuali hasil-hasil yang dicapai di sektor kehutanan pada periode komitmen pertama memperlihatkan kontribusi yang luar biasa terhadap penurunan emisi global.
Sementara itu dilihat dari sisi penawaran, persaingan untuk menjual karbon hutan lewat MPB sektor kehutanan oleh negara berkembang non-Annex I kelihatannya cukup ketat. Hasil perhitungan Pelangi (2003) dengan menggunakan model PET (Pelangi’s Emission Trading) dari kegiatan Reforestasi saja potensi penawaran karbon negara berkembang mencapai 94,2 juta ton/tahun. Dimana pangsa pasar terbesar dimiliki oleh negara Brasil (26,1%), Amerika Latin lainnya (20%), sedangkan Indonesia sendiri memiliki pangsa 15,8 juta ton CO2/tahun (16,8%). Belum lagi penawaran karbon hutan yang berasal dari kegiatan Aforestasi. Selanjutnya berdasarkan National Strategy Study (NSS) MPB yang dilakukan oleh Kantor Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2003, kemampuan supply karbon Indonesia lewat MPB mencapai 36 juta ton CO2/tahun, dimana 28 juta ton CO2/tahun diantaranya dari sektor kehutanan. Kemudian baru baru ini (Kompas, 23/2) deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian menyatakan bahwa potensi karbon yang bisa dipasok Indonesia sejumlah 24 juta ton CO2/tahun dari sektor energi dan 23 juta ton CO2/tahun dari sektor kehutanan.
Implikasi dari terbatasnya jumlah permintaan karbon lewat MPB sektor kehutanan dan tingginya persaingan pasokan karbon hutan dari negara-negara non-Annex I, akan berdampak pada fluktuasi harga Emisi Disertfikasi (CER) di pasar global. Bila pasokan jauh lebih besar dari permintaan, maka harga CER cenderung mendapat tekanan atau turun. Saat ini harga pasaran karbon berkisar antara US$ 3 – US$ 8/ton CO2. Oleh karena itu dibutuhkan kehati-hatian dari negara-negara non-Annex I untuk tidak berlomba-lomba memasok karbon sektor kehutanan di pasar karbon global. Faktor lain yang bisa menekan harga karbon (CER) sektor kehutanan adalah adanya kekuatiran perihal kebocoran (leakage) yang tinggi, misalnya karena kebakaran hutan, penebangan kayu dan penyebaran hama penyakit.
Disamping faktor pasar, prospek perdagangan karbon hutan lewat skema MPB sektor kehutanan juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesiapan institusi dan perangkat hukum yang mengaturnya. Dari sisi institusi, Indonesia baru membentuk Komisi Nasional MPB dan pihak-pihak yang ditunjuk untuk duduk dalam Komnas MPB hingga saat ini masih belum tuntas. Sehingga dikuatirkan keterlambatan ini akan mempersempit peluang Indonesia untuk terlibat dalam kegiatan perdagangan karbon hutan lewat skema MPB. Apalagi waktu pendaftaran (registry) proyek MPB dibatasi terhitung sejak tahun 2000 dan akan berakhir tanggal 31 Desember 2005. Belum lagi masalah pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dibidang pengembangan proyek karbon di tingkat nasional bahkan kedaerah-daerah.
Sementara itu, dari sisi perangkat legislasi, Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah nampaknya masih perlu berbenah diri melalui sinkronisasi dan harmonisasi perangkat hukum yang mendukung bagi terlaksananya kegiatan perdagangan karbon. Beberapa perangkat hukum yang kurang kondusif bagi pelaksanaan kegiatan perdagangan karbon seperti Keppres No. 188 tahun 2000 yang mengatur masalah Daftar Positip dan Negatif untuk Penanaman Modal Asing, dimana disebutkan bahwa modal asing tidak dapat diikutsertakan dalam pengembangan kegiatan hasil hutan non-kayu. Kemudian, PP No. 34/2002 tentang alokasi lahan hutan, rencana pengelolaan hutan dan penggunaan hutan, yang mengatur tentang pembatasan pemberian usaha jasa lingkungan yang hanya seluas 1.000 hektar untuk jangka waktu 10 tahun dan maksimal setiap kabupaten hanya boleh memberi 2 ijin.
Belum lagi dari sisi kesiapan pemerintah daerah dalam pembuatan perda yang mengatur keterlibatan pihak pemerintah daerah dalam hal kegiatan perdagangan karbon. Kendati sudah dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.14/2004 tentang Tatacara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), namun dikuatirkan bahwa keseluruhan perangkat hukum tersebut diatas masih belum menyentuh ke daerah-daerah.
Jadi kesimpulannya masih banyak yang harus diperbuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyikapi dan mengantisipasi kegiatan perdagangan karbon hutan, kalau tidak mau dikatakan terlambat.
Kegiatan Perdagangan Karbon Hutan melalui Skema MPB dari Perspektif Kalimantan Tengah
Sepertinya tidak bijak untuk membicarakan kesiapan Kalimantan Tengah baik dari sisi institusi, perangkat hukum dan sumberdaya manusia dalam kerangka kegiatan perdagangan karbon hutan, mengingat di tingkat nasional pun kita dapat dikatakan masih keteteran.
Namun, ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan catatan dan renungan bersama yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan karbon hutan dari perspektif Kalimantan Tengah.
Pertama, kesiapan lahan untuk kegiatan reforestasi MPB nampaknya Kalimantan Tengah cukup potensial. Catatan terakhir Walhi Kalteng (Kapos, 24/2) diperoleh prediksi tingkat kerusakan hutan Kalimantan Tengah mencapai 8 juta hektar, sedangkan versi Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah luas hutan yang rusak mencapai 4 juta hektar. Kendati dua data yang disajikan cukup signifikan berbeda, namun cukup untuk menggambarkan bahwa potensi lahan untuk dijadikan kegiatan aforestasi MPB cukup terbuka luas di Kalimantan Tengah. Namun yang perlu diingat bahwa kendala perangkat peraturan seperti Keppres No. 188/2000 dan PP No. 34/2002 yang potensial untuk menghambat pelaksanaan kegiatan proyek karbon hutan perlu segera disikapi; Begitu juga menyangkut perangkat hukum daerah berupa Perda yang mengatur masalah perdagangan karbon.
Kedua, kendatipun kegiatan proyek karbon hutan dari kacamata persaingan cukup ketat dan pasar kurang prospektif, namun yang harus diingat bahwa pelaksanaan kegiatan proyek karbon hutan mestinya jangan hanya berorientasi pada uang semata, melainkan potensi lain seperti adanya pengembangan kapasitas, transfer teknologi dan diterapkannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada pelaksanaan proyek karbon hutan merupakan peluang yang seharusnya jangan dibiarkan berlalu oleh pemerintah daerah dan masyarakat Kalimantan Tengah.
Ketiga, perlunya upaya lobi dan pendekatan intensif oleh Pemerintah Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah baik ditingkat nasional maupun internasional terhadap sumber-sumber pendanaan lain diluar skema Kyoto Protocol untuk pengelolaan sektor kehutanan misal Dana BioCarbon Fund yang terdapat di Bank Dunia dan dana-dana adaptasi dalam kerangka konvensi perubahan iklim;
Keempat, peluang pembiayaan kegiatan reforestasi MPB secara unilateral sangat dimungkinkan dilakukan oleh Kalimantan Tengah lewat penggunaan dana DAK DR dan GRNHL yang ada.
Kelima, hendaknya Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota Kalimantan Tengah mulai memperkuat posisi tawar (bergaining position) ditingkat nasional maupun internasional yang berkaitan dengan potensi karbon sangat besar yang dimiliki Kalimantan Tengah misalnya dari kawasan lahan dan hutan gambut. Dimana diketahui bahwa potensi karbon dari lahan dan hutan gambut hampir 10 kali lipat dari potensi karbon ekosistem hutan di daerah teresterial.Catatan-catatan tersebut diatas semoga menjadi perhatian kita semua. Sekali lagi untuk selalu kita ingat bahwa PERDAGANGAN KARBON HUTAN, BUKAN PEMBERIAN UANG CUMA-CUMA SEPERTI DURIAN RUNTUH DARI NEGARA MAJU KEPADA NEGARA BERKEMBANG (TERMASUK INDONESIA), MELAINKAN PROSEDUR DAN PERSAINGAN KETAT TETAP MENJADI PIJAKAN UTAMA. Dengan perkataan lain bahwa Perdagangan Karbon memang mudah untuk DIKATAKAN dan DIOBRALKAN tetapi sulit dan kompleksitas dalam pelaksanaannya. Meskipun begitu peluang untuk untuk dilaksanakan di Kalimantan Tengah tetap ada.

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...