Wednesday, September 20, 2006

Diskursus Urgensi Peraturan Daerah tentang DAS di Kalimantan Tengah

Memperhatikan kondisi ekosistem sebelas Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan signifikansi gangguan dan penurunan kualitas yang cukup serius dari waktu ke waktu, maka diskursus perlunya Peraturan Daerah tentang Daerah Aliran Sungai di Provinsi Kalimantan Tengah memperlihatkan momentumnya.
Penurunan kualitas ekosistem DAS terutama kerusakan sempadan sungai dan sempadan banjir (flood plain), kahancuran alur sungai, penurunan kualitas air sungai dan hancur kawasan penyangga DAS menyebabkan interaksi dan relasi sosial antara masyarakat (baca: manusia) Kalimantan Tengah dengan sungai-sungai yang ada semakin retak. Interaksi sosial antara masyarakat dan sungai dulunya begitu erat, dimana sungai dianggap sebagai sumber aktivitas penghidupan sehari-hari seperti sumber air minum, mandi, cuci, tempat untuk mencari ikan, media transportasi dan sumber penghidupan lainnya. Kini interaksi dan relasi sosial tersebut kian merenggang bahkan cenderung terjadi distorsi. Persepsi dan apresiasi masyarakat khususnya terhadap kualitas air sungai beserta biota yang hidup didalamnya akhir-kahir ini semakin rendah bahkan air sungai beserta unsur biotanya dipandang sebagai momok yang menakutkan dan harus dihindari, karena dianggap dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahkan sungai terkandang di benci dan dijadikan kambing hitam petaka yang menimpa manusia seperti bahaya banjir dan kekeringan.
Begitu langka terdengar kesadaran manusia bahwa renggangnya interaksi dan relasi sosial dengan sungai tersebut sebetulnya akibat ulah manusia itu sendiri. Sikap antroposentris kita selama ini telah memaksa kita untuk melihat ekosistem DAS beserta dengan unsur yang terkandung didalamnya sebagai pelayan dan pemenuh hasrat birahi kebutuhan humanis kita. Akibatnya, eksploitasi yang berlebihan dan masif terhadap sumberdaya DAS beserta unsur didalamnya menjadi langkah pembenaran atas tindakan destruktif kita selama ini yang berujung pada degradasi dan kehancuran sumberdaya dan ekosistem DAS yang ada.
Untuk mensikapi dan sebagai langkah antisipatif terhadap semakin merosotnya kondisi ekosistem kesebelas DAS yang ada di Kalimantan Tengah yang dapat berimplikasi pada semakin memburuknya kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kalimantan Tengah dan penurunan kualitas ekosistem DAS-DAS yang ada, maka dipandang perlu untuk mengharmonisasi dan merevitalisasi hubungan timbal balik keduanya melalui pengaturan yang saling menguntungkan antara aktivitas manusia di satu pihak dengan eksistensi dan keberlanjutan ekosistem DAS-DAS yang ada pada pihak lainnya. Pengaturan tersebut selayak dan sepantasnya dalam bentuk produk hukum berupa Peraturan Daerah baik di Tingkat Propinsi maupun kabupaten/kota.
Urgensi perlunya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Provinsi Kalimantan Tengah maupun Kabupaten/Kota untuk segera memikirkan Peraturan Daerah tentang Dearah Aliran Sungai tersebut, didasari atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan peningkatan aktivitas masyarakat umum dan sektor swasta yang berkontribusi pada akserelasi degradasi dan penurunan kualitas ekosistem kesebelas DAS yang di Kalimantan Tengah (Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, Seruyan, Arut, Lamandau, Kumai, Jelai, dan Sebangau); Sebagai contoh adalah aktivtas penambangan emas tanpa ijin (PETI), buangan limbah industri tertentu secara langsung maupun tidak langsung; kegiatan penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan, konversi dan alih guna kawasan sepadan sungai untuk penggunaan lain-lain;
Kedua, kecenderungan tipologi pemukiman penduduk Kalimantan Tengah yang berkonsentrasi sepanjang pinggiran DAS-DAS yang ada. Tipologi pemukiman seperti itu bertendensi negatif terhadap ekosistem DAS-DAS yang ada karena berbagai tindakan yang kurang bijaksana dari para pemukim seperti membuang sampah langsung ke sungai (sungai dianggap sebagai tong sampah), berkurangnya wilayah resapan air, dan konversi sempadan banjir dan sungai untuk kegiatan lainnya.
Ketiga, laju degradasi kualitas air dan tingkat kelangkaan sumber biota perairan yang cukup signifikan dan masif akhir-akhir ini akibat intensitas aktivitas masyarakat dan swasta yang langsung dan tidak langsung berhubungan dengan ekosistem DAS-DAS yang ada;
Keempat, tendensi menurunnya luasan kawasan hutan sebagai daerah penyangga (bufferzone) dan daerah tangkapan banjir (water catchment) pada wilayah bagian hulu DAS-DAS yang ada maupun kawasan lahan basah (gambut) di bagian hilir.
Kelima, kecenderungan intensitas dan frekwensi peristiwa banjir yang semakin tinggi di musim penghujan dan peristiwa kekeringan di musim kemarau. Kedua peristiwa tersebut sudah jamak diketahui sangat memberatkan beban sosial (social costs) yang harus dipikul oleh masyarakat maupun pemerintah daerah. Peristiwa banjir maupun kekeringan tersebut diprediksikan punya relasi yang kuat dengan semakin menipisnya areal kawasan hutan penyangga maupun daerah tangkapan banjir, akibat konversi dan alih guna keperuntukan lain seperti perkebunan, pertambangan, pertanian, pemukiman dan lain-lain.
Keenam, kesebelas DAS yang ada merupakan sumber air tawar terbesar dan merupakan aset ekonomi penting dimasa datang, sehingga usaha-usaha konservasi dan proteksi sumber air tawar tersebut merupakan langkah strategis dan bernilai ekonomis tinggi untuk pembangunan Kalimantan Tengah di masa mendatang. Perlu untuk selalu diingat suatu prediksi bahwa “future war is not oil but water“, memperlihatkan betapa pentingnya sumberdaya air dimasa depan. Orang mungkin masih bisa hidup dan bertahan tanpa setetes minyak, namun siapa yang dapat hidup dan bertahan tanpa setetes air.
Ketujuh, ketersediaan sejumlah perangkat perundang-undangan yang lebih tinggi dan memungkinkan untuk dijadikan referensi bagi pembuatan produk peraturan daerah tentang DAS tersebut. Produk-produk peraturan tersebut antara lain UU No. 32 tahun 2004; UU No.7 tahun 2004; UU No. 23 tahun 1997; UU No. 5 Tahun 1990; UU No. 41 tahun 1999; PP No. 47 tahun 1997; PP No.82 tahun 2001; Keppres 32 tahun 1990 dan produk-produk hukum lainnya yang relevan.
Bila Peraturan Daerah tentang DAS di Kalimantan Tengah segera bisa diwujudkan, maka penulis ingin urun rembug dan memberi sumbang saran tentang isu pokok yang harus diakomodir dalam peraturan daerah tersebut sebagai berikut:
Pertama, batasan-batasan operasional tentang kegiatan-kegiatan yang boleh (eligible) dan tidak boleh (non-eligible) dilakukan di wilayah DAS baik yang berkaitan dengan konversi, alih guna lahan dan pemanfaatan ekosistem DAS;
Kedua, pendekatan pengelolaan DAS yang lebih berorientasi pada eco-hydroulic approach dari pada pendekatan hidrolik konvensional yang bersifat parsial;
Ketiga, pengaturan tentang sistem peringatan dini (early warning system) untuk bencana alam seperti banjir dan kekeringan guna meminimalisir beban sosial yang ditanggung oleh masyarakat maupun pemerintah daerah.
Keempat, pengaturan tentang sistem naturalisasi sungai dan restorasi sungai berdasarkan pertimbangan aspek ekonomi, sosial dan ekologi;
Kelima, pengaturan tentang upaya dan usaha peningkatan penyadartahuan seluruh pemangku kepentingan khususnya tentang budaya air (water culture); dan
Keenam, penganturan tentang mekanisme hukuman dan penghargaan (reward and panishment mechanisms) yang terkait dengan pengelolaan, pemanfataan dan pelanggaran terhadap eksosistem DAS.Demikian kira-kira pemikiran yang bisa penulis sumbangkan dalam rangka mendorong pihak eksekutif maupun legislatif baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah untuk segera mencari solusi preventif dalam bentuk pembuatan peraturan daerah guna meminimalisir kondisi kritis yang dialami DAS-DAS besar di Kalimantan Tengah.

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...