Saturday, September 23, 2006

Potret Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan di Sungai Mantangai

Pendahuluan
Mantangai adalah satu nama sungai di Kabupaten Kapuas, yang dulunya merupakan salah lumbung ikan untuk Kabupaten Kapuas dan sekitarnya. Sungai dengan panjangnya mencapai ± 64 km, terletak di wilayah administrasi Kecamatan Mantangai. dapat di telusuri selama ± 3 - 4 jam perjalanan menggunakan klotok (perahu kecil memakai mesin berkapasitas 5-10 orang). Bagian muara sungai lebarnya mencapai 30 - 40 m, lebih kearah hulu lebar sungainya cenderung menyempit berkisar antara 10 – 20 meter dan bahkan ada bagian yang hanya selebar kurang dari 1 meter dan hanya mampu dilalui kelotok atau perahu berukuran kecil. Hal ini terjadi karena perkembangan tumbuhan rasau yang mengarah pada bagian tengah sungai sehingga memiliki kecenderungan menutupi badan sungai.
Penduduk yang yang bermukim di sepanjang sungai Mantangai umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan kehidupan mereka sepenuhnya sangat tergantung dengan sumber ikan yang terdapat di Sungai Tersebut.
Bagaimana sebenarnya potret kondisi sosial-ekonomi para nelayan Sungai Mantangai yang sebenarnya. Tulisan berikut mencoba untuk menyajikan secara faktual kondisi sosio-ekonomis kehidupan para nelayan Sungai Mantangai rangkuman hasil wawancara yang dilakukan dengan 22 orang nelayan daerah tersebut yang dipilih secara acak pada bulan Juni 2004..

Potret Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan Sungai Mantangai
Gambaran tentang kondisi sosial ekonomi nelayan Sungai Mantangai ditelusiri dari faktor-faktor sosial ekonomi seperti kondisi fisik perumahan, tingkat pendidikan, sumber dan jumlah pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, teknologi penangkapan dan pengetahuan tentang teknik budidaya ikan.
Hampir 82% nelayan Sungai Mantangai ternyata hanya memiliki latar belakang pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar dan Tamat Sekolah Dasar, sedangkan yang berhasil menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat tidak lebih dari 9% dan bahkan sekitar 9% nelayan diketahui tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Rendahnya tingkat pendidikan para nelayan diperkirakan disebabkan oleh beberapa sebab antara lain (i) minimnya penghasilan dari menangkap ikan; (ii) akses ke sarana pendidikan yang relatif sulit; dan (iii) persepsi yang keliru dari para nelayan akan arti pentingnya pendidikan.
Pola penyebaran pemukiman para nelayan berada disepanjang Sungai Mantangai dan umumnya berkelompok seperti kelompok Mantangai Hilir, kelompok Jayanti, Danau Uju, Gajah dan danau Telo dengan total kepala keluarga sebanyak 22 atau 60 orang anggota keluarga. Kondisi fisik perumahan mereka umumnya terbilang sangat sederhana dengan bahan utama dari kayu tidak tahan lama dan beratap daun rumbia dan bahkan dari plastik dan hanya satu unit rumah yang beratap seng. Rumah para nelayan berukuran rata-rata 4 x 4 meter (16 m2) dengan luas tanah berkisar antara 20-25 m2, kendati sebetulnya para nelayan memiliki keleluasaan untuk membangun rumah disepanjang alur Sungai Mantangai. Usia rumah para nelayan tidak lebih dari 5 tahun dan setelah itu harus dilakukan perbaikan. Dari wawancara diperoleh informasi sekitar 68% bangunan rumah nelayan yang ada berumur 4-6 tahun dan sisanya berusia 1-3 tahun serta tidak diketemukan rumah yang berusia fisik diatas 7 tahun.
Usaha menangkap ikan di Sungai Mantangai ternyata dilakukan secara turun temurun oleh para nelayan. Hal ini terlihat dari lamanya waktu mereka bermukim diwilayah tersebut, dimana lebih dari 85% nelayan bermukim rata-rata diatas 5 tahun dan bahkan ada 15% nelayan menyatakan bermukin lebih dari 10 tahun di wilayah tersebut.
Hampir seluruh nelayan memiliki dan menggunakan perahu tanpa mesin (jukung) dan perahu bermesin (kelotok) dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan dan hanya dua orang nelayan yang mengaku tidak memiliki perahu bermesin. Sementara itu alat tangkap yang digunakan para nelayan umumnya alat tangkap tradisional seperti Tampirai, Bubu (kawat dan bambu), Rengge, Rawai, Pancing/Banjur, Pangilar, Kabam, dan Haup. Sedangkann jenis ikan yang dominan tertangkap antara lain Tampahas (tapah), Tahoman (toman), Kerandang, Kakapar (kapar), Miau, Tabakang, dan Baung.
Tingkat pendapatan para nelayan ternyata sangat fluktuatif dan tergantung dengan kondisi musim. Musim banjir tangkapan umumnya terjadi pada awal musim kemarau dan musim banjir yakni antara bulan September hingga Januari setiap tahunnya. Hasil tangkapan pada musim banjir ikan umumnya mencapai 2 atau 3 kali lipat dibandingkan pada musim-musim biasa. Pada musim biasa nelayan hanya mampu memperoleh hasil tangkapan rata-rata 30 kg per bulan atau senilai Rp. 300.000,-/bulan, sedangkan pada musim banjir ikan rata-rata mereka dapat memperoleh 70 kg per bulan dengan harga rata-rata Rp. 9.000,- per kg, maka penghasilan per bulannya untuk setiap nelayan mencapai Rp. 630.000,-. Hasil tangakapan ikan rata-rata per rumah tangga nelayan tahun 2003 adalah sebanyak 562 kg, jumlah ini kalau dikonversi (dijual) setara dengan Rp.5.210.000,-. Berarti perolehan tiap bulan rata-rata adalah sebanyak 46,8 kg atau kalau dijual menjadi sebesar Rp.434.167,-. Kalau dihitung secara kasar jumlah penghasilan kotor rata-rata per bulan rumah tangga nelayan adalah sebesar Rp. 434.167,-. Sedangkan pendapatan dari usaha dan kegiatan lain sama sekali tidak ada.
Pola pemasaran hasil hasil ikan tangkapan umumnya bersifat lokalistik yaitu dijual ke pasar Desa/Kelurahan terletak di Mantangai ibu kota Kecamatan dengan jarak tempuh antara 30 – 64 km atau ke desa-desa lain sekitarnya. Pola lain adalah dijual kepada salah seorang pedagang pengumpul yang juga menetap sebagai nelayan setempat. Selisih harga jual antara pedagang pengumpul dengan harga di pasaran Desa Mantangai berkisar antara Rp. 1.000-Rp. 3.000/kg, sehingga apabila jumlah ikan yang dijual sendiri ke Mantangai sedikit (< 20 kg) maka sangat tidak menguntungkan karena tidak dapat menutup biaya transportasi yang dikeluarkan.
Pola pemanfaatan pendapatan para nelayan umumnya digunakan sebagian besar (50%) untuk membeli kebutuhan pokok yang bersifat subsisten berupa pangan sedangkan sebagian kecil sisanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan papan dan pembelian alat tangkap. Dari wawancara diketahui bahwa rata-rata pengeluaran per rumah tangga nelayan perbulan sekitar Rp. 400.000,-.
Tingkat pengetahuan para nelayan terhadap teknik budidaya ikan menetap ternyata sangat minim.bahkan bisa dikatakan tidak ada. Padahal mereka sangat berkeinginan untuk melakukan kegiatan budidaya menetap dan sangat berharap dikemudian ada pihak yang peduli dan mendengarkan keluhan mereka. Semoga!!.

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...