Hiruk pikuk masalah konpensasi Bahan Bakar Minyak (BTL-KKB) beserta berbagai pernik-pernik kegirangan dan kekecewaan seputar distribusinya diberbagai daerah di Indonesia, ternyata dimata Pak Umin seorang nelayan di Sungai Mantangai, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah tidak punya pengaruh dan makna apapun.
Bahkan mengetahui adanya istilah konpensasi BBM saja pak Umin baru mengetahui ketika penulis menanyakan kepada beliau apakah ada memperoleh dana konpesasi BBM yang sedang ramai diperbincangkan dan diperebutkan oleh teman-teman senasib dan sependeritaan dirinya. Mendengar istilah “konpensasi BBM” saja baru sekarang, sapa pak Umin, boro-boro mendapat dan menerima dana yang notabene untuk kaum kurang mampu dan tidak berkecukupan tersebut’, tambahnya..
Kehidupan pak Umin dapat dikatakan semakin terpuruk dengan adanya kenaikan BBM yang baru-baru ini diputuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Seandainya kenaikan BBM tersebut tidak serta merta diikuti oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok hidup lainnya, tentu saja kenaikan harga BBM mungkin tidak terlalu dipersoalkan Pak Umin. Tetapi kenyataan yang terjadi justru kenaikan harga BBM telah menjadi justifikasi dan alat pemicu bagi para pedagang/penjual kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan pak Umin untuk menaikkan harga-harga dengan seenaknya.
Kesedihan dan kepiluan sang nelayan yang hanya memiliki perahu atau “jukung” ukuran kecil dan rumah berukuran 3 x 2 m dengan atap daun rumbia, lantai dan dinding papan kayu alakadarnya, manakala mendengar ada istilah konpensasi BBM yang diperuntukkan bagi kaumnya, namun tidak pernah dinikmati atau sampai ketangan yang berhak menerima seperti dirinya. Nilai Rp. 300.000,- memiliki makna dan nilai yang sangat besar bagi sang nelayan yang harus berjuang siang malam hanya untuk memperoleh hasil tangkapan ikan rata-rata 2 kg/hari guna menopang kehidupan diri beserta keluarganya sehari-hari. Nilai rupiah tersebut diatas menjadi tidak bermakna apa-apa manakala hanya nilai imaginer yang terdengar sampai ketelinganya dan bukan lembaran-lembaran rupiah nyata seperti yang ramai diperebutkan oleh rekan sesamanya. Masih beruntung pak Umin hanya menggunakan perahu kecil yang menggandalkan tenaga untuk menggerakkannya sehari-hari. Dapat dibayangkan seandainya perahu tersebut menggunakan mesin yang digerakkan oleh BBM, sudah pasti kehidupan pak Umin dan keluarga akan jatuh terperosok lebih dalam lagi ke jurang kemiskinan, ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Hampir lebih dari sepuluh tahun ini pak Umin dan keluarganya menggantungkan hidupnya dari kegiatan mencari ikan di Sungai Mantangai yang merupakan ekosistem perairan gambut. Namun dari tahun ke tahun hasil tangkapan semakin menurun dan tidak menentu seiring dengan semakin rusaknya ekosistem hutan rawa gambut yang berada di wilayah sungai tersebut. Kondisi hasil tangkapan amat sangat merosot drastis dirasakan pak Umin setelah dibukanya proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar. Ikan semakin langka untuk ditangkap dan hasil tangkapan semakin menurun jumlahnya dan ditambah lagi cara-cara penangkapan ikan secara tidak bijaksana yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab turut memperparah keadaan. Kesulitan dan penderitaan hidup yang dialami oleh pak Umin dan keluarga lebih kurang lima tahun belakangan ini menjadi sempurna dan lengkaplah dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah yang mencapai ratusan persen jumlahnya.
Mungkin dibenak nelayan berusia 58 tahun ini ingin berontak dan melawan atas keadaan yang seakan-akan terus menghimpit kehidupan diri dan keluarganya, tapi apa dinyana rintihan suara, kepiluan dan aspirasi pak Umin seperti terhalang tembok besar dan tinggi sehingga tidak pernah terdengar atau sampai ke pihak-pihak yang berkompeten dengan perjuangan nasib kaum kurang beruntung seperti pak Umin. Atau mungkin saja rintihan dan keluhan beliau sampai ke pihak berkompeten tersebut, namun mata dan telinga mereka seolah-olah tertutup rapat dari keluhan dan penderitaan yang dialami oleh si nelayan ini.Akhirnya dari pada hanya berhayal untuk mendapatkan dana konpensasi BBM yang nggak jelas jeruntungya, pak Umin terpaksa harus terus mendayung perahu “jukung” kecilnya untuk berpacu mengatasi penderitaan dan keterperosakan hidup yang dialami. Dan pak Umin pasti sadar bahwa masih banyak saudara-saudaranya yang lain yang senasib dan sependeritaan dengan dirinya serta sembari berharap masih ada orang yang berhati nurani dan peduli dengan nasib yang mereka alami. Semoga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT
On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...
-
Warna ku hitam kecoklat-coklatan tak manarik mata dan minus estetika; Ragam sebutan nusantara dipatrikan pada diriku: tanah hitam, peta...
-
Sumber: Harian Kompas, Jumat, 25 April 2008 | 00:19 WIB Oleh Try Harijono dan C Anto Saptowalyono Suasananya sangat berbeda. Kawasan di seki...
-
Oleh: Alue Dohong Di dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah usaha dan upaya konservasi dan perlindungan terhadap sumbe...
No comments:
Post a Comment