Wednesday, August 17, 2011

Hembusan Angin Sorga REDD+ para Oportunis Karbon

Istilah REDD+ menjadi terminologi yang jamak didengar dan hampir menjadi topik pembicaraan harian khususnya di Kalimantan Tengah. Kendatipun istilah tersebut telah menjadi lumrah untuk diperbincangkan, namun pemahaman terhadap makna, hakekat dan tujuan REDD+ itu sendiri menjadi wilayah pemahaman yang sangat abu-abu (grey area) bagi kebanyakan para pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan isu dan kegiatan REDD+ itu sendiri.

Situasi kemudian semakin diperumit dan diperkeruh oleh kehadiran para oportunis karbon yang mencoba menabur angin sorga seolah-olah REDD+ merupakan harapan dan kesempatan emas baru bagi masyarakat Kalimantan Tengah guna menggapai kehidupan dan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik dari kondisi yang dialami saat ini. Hembusan angin sorga tersebut terasa semakin kencang melalui pemberian berbagai ilusi dan ekspektasi menyesatkan, seperti yang penulis coba sintesis dan uraikan berikut ini.

Ilusi dan ekspektasi pertama: REDD+ adalah cukup dengan menjaga hutan dan uang melimpah akan masuk. Simplifikasi menyesatkan ini sering dilontarkan para oportunis karbon yang menggambarkan kegiatan REDD+ cukup hanya dengan menjaga hutan supaya tidak ditebang, tidak terbakar dan tidak dikonversi untuk kegiatan lain, kemudian uang akan mengalir masuk begitu besar dari negara-negara maju termasuk didalamnya perusahaan-perusahaan mereka kepada para menjaga hutan (Pemerintah dan masyarakat) dimana lokasi REDD+ dilaksanakan. Padahal kegiatan REDD+ tidak sesederhana itu, melainkan memiliki elemen arsitektur kegiatan yang membutuhkan proses panjang dan relatif rumit mulai dari penetapan emisi referensi (baseline); intervensi reduksi emisi & sekuestrasi karbon termasuk perlindungan biodiversitas; kegiatan Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV); registrasi kredit karbon tersertifikasi, penyaluran kredit karbon tersertifkasi kepada pembeli; dan distribusi uang karbon kepada para pelaku kegiatan. Kesemua proses dan kegiatan tersebut diatas berimplikasi besar terhadap waktu dan sumberdaya (finansial , SDM dan teknologi).

Ilusi dan ekspektasi kedua: REDD+ menjual stok karbon hutan. Konklusi ini menjadi sangat menyesatkan karena para pembeli karbon (negara maju dan perusahaan mereka) tidak akan pernah mau untuk membayar stok karbon yang saat ini sudah tersimpan di kawasan hutan termasuk karbon di dalam tanah gambut melalui kegiatan REDD+. Sistem pembayaran nilai karbon dalam skema REDD+ berbasis pada kinerja yang dicapai (performance-based), yang artinya pembayaran hanya akan dilakukan kepada unit emisi dan sekuestrasi karbon yang benar-benar berhasil direduksi atau disekuestrasi. Kalkulasi sederhananya adalah selisih bersih antara stok karbon tahun sekarang (T1) dengan stok karbon tahun sebelumnya (T-1) setelah dikurangi kebocoran (leakage). Jadi kalau stok karbon tersimpan tahun sekarang lebih kecil dari tahun sebelumnya, itu artinya emisi positif atau sekuestrasi negatif, jadi tidak ada nilai karbon yang akan dibayar.

Ilusi dan ekspektasi ketiga: REDD+ biaya murah dan untungnya besar. Pelaksanaan kegiatan REDD+ berimplikasi pada tiga jenis biaya yaitu biaya oportunitas (opportunity cost), biaya transaksi (transaction cost) dan biaya implementasi (implementation cost). Biaya oportunitas merupakan kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan dari kegiatan memanfaatkan nilai hasil hutan (kayu dan non-kayu) dan lahan karena kawasan hutan dan lahan tersebut dijadikan kegiatan REDD+. Sementara biaya transaksi merupakan seluruh biaya yang terkait dengan tata niaga dan dukungan kebijakan sehingga karbon kredit tersertifikasi dapat diproduksi dan terjual kepada pihak yang membutuhkan. Komponen yang termasuk dalam ketegori biaya transaksi diantaranya biaya MRV, biaya makelar karbon, biaya pembentukan institusi dan biaya registrasi karbon tersertifikasi. Sedangkan biaya implementasi adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk intervensi kegiatan reduksi emisi maupun sekuestrasi karbon. Ketiga komponen biaya REDD+ tersebut diatas bukanlah biaya kecil melainkan membutuhkan dana dan investasi yang sangat besar. Pendekatan REDD+ adalah pendekatan pasar, yang artinya didalam kalkulasi keuntungan bisnis karbon merupakan silisih antara total penerimaan dan total biaya yang telah dikeluarkan, termasuk penggunaan sebagian keuntungan yang diperoleh untuk pengembalian nilai investasi yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Jadi kesimpulan bahwa REDD+ berbiaya murah dan memberikan keuntungan besar merupakan suatu logika yang terbalik dan menyesatkan.

Ilusi dan ekspektasi keempat: REDD+ membuka kesempatan kerja luas. Ilusi dan ekspektasi ini memang sedikit masuk logika, akan tetapi sangat tergantung pada jenis dan tipe kesempatan kerja yang bagaimana yang akan disediakan oleh kegiatan REDD+ kepada masyarakat lokal. Kalau posisi tenaga kerja lapangan, kesempatan kerja yang ditawarkan ke masyarakat lokal akan sangat ditentukan oleh jenis dan besarnya skala kegiatan intervensi reduksi emisi dan sekuestrasi karbon yang akan di implementasikan di lapangan. Saya menduga-duga bahwa apabila kegiatan REDD+ dilakukan di kawasan hutan primer dan sekunder yang kondisinya relatif masih baik, maka tentu permintaan akan tenaga lapangan akan sangat minim, karena intervensi yang akan dilakukan juga sangat minim dan terbatas. Sementara itu, kegiatan REDD+ sejatinya akan banyak terkait berbagai aspek teknis dan ketrampilan teknologi, yang ketersediaan sumberdaya lokal dibidang tersebut masih relatif terbatas, sehingga jamak kita saksikan para inisiator kegiatan REDD+ yang sekarang ada di Kalimantan Tengah justru banyak melibatkan dan mendatangkan keahlian asing dan dari luar daerah. Lebih-lebih secara kasat mata para inisiator REDD+ ini tidak membuka kran kesempatan secara transparan dan berkeadilan kepada masyarakat lokal. Jadi kesempatan kerja yang luas dalam kegiatan REDD+ hanya akan menjadi suatu ilusi semata apabila tidak ada asas transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dari para pelaku atau inisiator REDD+ di lapangan.

Ilusi dan ekspektasi kelima: REDD+ meningkatkan perekonomian lokal. Kehadiran program REDD+ akan berdampak nyata pada peningkatan perekonomian lokal sangat ditentukan oleh skala kegiatan dilapangan dan model alokasi serta distribusi manfaat finansial REDD+ yang akan diberikan kepada pelaku kegiatan pengurangan emisi dan sekuestrasi karbon di tingkat lokal. Apabila formulasi model alokasi dan distribusi manfaat kurang mencerminkan asas keadilan dan pemerataan berdasarkan kinerja nyata tentu daya dampaknya terhadap perekonomian lokal tentu akan sangat kecil, lebih-lebih apabila jenjang dan rantai distribusi semakin panjang tentu daya trickle down effect kegiatan REDD+ akan semakin mengerucut ke daerah.

Ilusi dan ekspektasi keenam: REDD+ mendukung transfer pengetahuan, pengalaman dan teknologi untuk masyarakat lokal. Para oportunis karbon umumnya selalu mengumbar janji manis tentang akan terjadi alih pengetahuan, pengalaman dan teknologi untuk aparat dan masyarakat dengan adanya kegiatan REDD+ di daerah. Realitas dilapangan justru banyak membuktikan sangat sedikit skema yang jelas dan tegas tentang bagaimana hal tersebut akan dilakukan. Justru sebaliknya terjadi transfer pengetahuan, pengalaman dan teknologi dari masyarakat lokal kepada para opurtunis karbon tersebut, yang kemudian dengan kepiawaiannya memainkan kata dan kalimat seolah-olah semuanya bersumber dari mereka. Sepanjang skema dan metode alih pengetahuan, pengalaman dan teknologi tidak tersedia secara transparan dan tegas, semuanya akan menjadi ilusi semata.
Dengan memperhatikan berbagai ciri-ciri ilusi dan ekspektasi yang dihembuskan para oportunis karbon seperti yang telah diuraikan diatas, tentu sangat diharapkan para pihak di Kalimantan Tengah akan semakin jeli dan membentengi diri dari serangan ilusi dan ekspektasi menyesatkan dari para oportunis tersebut.

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...