Bibir pantaiku indah tak bercela bak bibir
merah sang bidadari,
Pepohonan besar dan rindang tumbuh bebas disepanjang
sepadanku,
Satwa terestrial dan avifauna bersemayam
dan bernyanyi riang di pepohonan diatas sepadanku,
Air putih, bersih dan jernih mengalir melalui
tubuhku dari pelosok hulu sampai tepi laut,
Aku mengalirkan air kehidupan dan bukan air
bah bencana untuk semua mahkluk,
Ikan-ikan berkeliaran, bersendau gurau dan
berlari kian kemari di kebeningan airku yang jernih bak warna Kristal putih,
Manusia menjadi sahabatku dan aku memberikan
mereka sumber kehidupan, kesejahteraan dan kedamaian.
Ah…itu dulu, sekarang?
Semuanya telah sirna,
Semuanya tinggal sejarah dan kenangan
belaka,
Semuanya hanya tercerita indah di buku-buku
dan kanvas guratan pena tanpa realita,
Tubuhku yang indah telah terkoyak dan
berserakan tak karuan karena ulah pemburu rente dan harta serakah manusia,
Sepadanku dirajang dan dihancurkan serta
dimusnakan tanpa rasa dan iba manusia,
Pohon-pohon indahku ditumbang dan dirajang
demi silap mata manusia yang rabun estika dan budaya,
Tubuhku dibuat epicentrum limbah dan sampah
manusia tak beretika,
Kelokan tubuhku di codet, dibeton dan
diiris-iris demi birahi kuasa dan harta manusia,
Ikan-ikan indahku diracun, disetrum dan di
boom untuk usaha manusia durhaka pemuja dosa,
Diriku sering diidentikan sebagai pembawa bencana
dan malapetaka dan durjana bagi manusia,
Padahal semuanya itu bukan akibat ulahku,
tetapi perbuatan manusia yang memproklamir diri sebagai mahkluk paling saleh beragama,
berilmu dan beretika.
Jakarta, Minggu, 24 Juni 2018
By Alue Dohong
No comments:
Post a Comment