Monday, April 20, 2009

AS Bersikeras, Penutupan UNFCCC Bakal Molor

Sumber: Liputan 6 (SCTV), ditayangkan: 14.12.2007; 13:05

Liputan6.com, Nusa Dua: Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, hari ini (14/12) akan berakhir. Namun beberapa jam menjelang penutupan, perdebatan alot masih terjadi. Salah satunya disebabkan sikap Amerika Serikat yang ingin mementahkan atau menghalangi beberapa kesepakatan [baca: REDD Disetujui, AS Belum Bersikap].

Reporter SCTV David Silahooij melaporkan, sejumlah isu yang masih alot itu menyangkut penurunan emisi dan dana kompensasi bagi negara-negara pemilik hutan tropis atau Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). Menurut pihak AS, tiga persen saja emisi diturunkan, maka pendapatan domestik bruto negaranya bakal turun sekitar 4,1 persen. Sikap keras AS inilah yang kemungkinan membuat agenda hari penutupan KTT Perubahan Iklim menjadi molor.

Dilaporkan pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan bertemu dengan senator AS Al Gore yang tak lain pemenang Nobel Perdamaian 2007 di Hotel Four Seasons, Nusa Dua, Bali. Seperti diberitakan, kemarin, mantan Wakil Presiden AS era pemerintahan Bill Clinton itu mendesak negaranya agar segera bertindak mengatasi dampak perubahan iklim [baca: Al Gore Kritik Kebijakan Bush].

Adapun dalam KTT Perubahan Iklim di Bali, pemerintah Indonesia mengusulkan agar negara-negara maju yang banyak mengotori lingkungan memberikan kompensasi dana. Dana ini diperuntukkan bagi negara-negara berkembang pemilik hutan tropis yang menyerap gas buangan. Di Indonesia, salah satu daerah pemilik wilayah hutan terbesar, terutama hutan gambut, adalah Kalimantan Tengah.

Belum lama ini SCTV mewawancarai Alue Dohong, aktivis Wetlands International. Alue menuturkan, belum lama berselang ia berkesempatan berkunjung ke Kalteng. Kunjungan ini buat mengetahui tanggapan pemerintah dan warga Kalteng tentang usulan dana kompensasi yang diusung pemerintah pusat.

Dari pedalaman Kalteng, Alue Dohong dan rekan-rekannya bekerja menyelamatkan bumi, yakni merehabilitasi lahan gambut. Lahan itu sepintas hanya terlihat sebagai tanah berwarna kehitam-hitaman dan terdiri dari tumpukan ranting yang telah terurai. Kalteng memiliki tiga juta hektare lebih lahan gambut, namun banyak yang sudah kering atau rusak.

Meski kegunaannya untuk bercocok tanam terbatas, lahan gambut sebenarnya mempunyai fungsi penting, terutama buat mengimbangi dampak pemanasan global. Potensi serapan karbon dioksida dari lahan gambut Kalteng diperkirakan sebesar enam miliar ton. Dengan harga jual minimal lima dolar AS di pasar karbon internasional, ini berarti potensi pemasukan besar bagi daerah dan negara. Lantaran itulah, Gubernur Kalteng Teras Narang menyayangkan kurang diikutsertakan pemerintah setempat dalam persiapan perundingan perubahan iklim di Bali.

Seperti halnya Indonesia, dinamika serupa antara pemerintah pusat dan daerah menyangkut regulasi hutan dan serapan karbon pun berlangsung di Brasil. Salah satu negara di Amerika Latin ini adalah pemilik hutan tropis terbesar di dunia. Menurut Duta Besar Brasil untuk Indonesia Edmundo Fujita, kebijakan terbaik haruslah yang berdampak positif dan langsung terhadap masyarakat. Terutama mereka yang bermukim di wilayah hutan.

Dalam perundingan Bali, baik Indonesia maupun Brasil setuju bahwa sudah saatnya negara-negara berkembang pemilik hutan tropis mendapat insentif dari negara-negara kaya. Ini mengingat hutan mereka mampu menyerap gas buangan industri besar.

Memang, banyak harapan tergantung pada perundingan di Bali. Namun kalaupun nanti tercapai konsensus, ada pertanyaan yang tersisa. Bagaimana memastikan hutan Indonesia tak sekadar menjadi bahan rebutan Jakarta dan daerah? Dengan demikian, menjadi satu kekayaan milik bersama.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...