Monday, April 20, 2009

Jangan Bangun Kanal di Gambut

Sumber: Kalteng Pos, Selasa, 21 April 2009

PALANGKA RAYA – Upaya memperbaiki lahan gambut yang sudah rusak khususnya di kawasan eks pengembangan lahan gambut (PLG) tak cukup dengan penanaman pohon kembali atau reboisasi. Langkah lainnya yang juga penting adalah tak membangun parit atau kanal baru di kawasan tersebut.
“Kalau membuka parit atau kanal di lahan gambut, maka air yang ditahannya akan lepas. Akibatnya, gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Kemudian, kanal yang sudah ada diupayakan ditutup atau ditabat sehingga masih bisa berfungsi menahan air,” ujar Direktur Wetland International Indonesia (WII) Kalimantan Tengah (Kalteng) Alue Dohong kepada Kapos, Senin (20/4) pagi.
Untuk kegiatan penanaman kembali, terangnya, perlu diperhatikan yang jenis endemik atau asal daerah. Misalnya, penanaman bibit pohon pulai, jelutung, dan belangiran. Dengan penanaman spesies endemik, maka tingkat tumbuhnya akan lebih cepat dibanding tanaman lain di luar ekosistem lahan gambut.
Pentingnya penabatan kanal dan tak membuat kanal baru di kawasan lahan gambut, kata Alue, dikarenakan upaya restorasi dan reboisasi selama ini tak berimbang dengan laju kerusakan tiap tahun. “Kalau mau fokus di eks PLG saja, penanaman tak sampai 10 persen untuk upaya restorasi. Sebab, hampir 70 persen diarahkan untuk konservasi,” tuturnya.
Menurut Alue Dohong, beberapa tindakan tersebut perlu dilakukan untuk menyelamatkan kawasan gambut dari laju kerusakan. Itu juga bermakna menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Sebab, ucapnya, tingkat degradasi untuk lahan gambut di Indonesia setiap tahunnya rata-rata 5-10 persen. Utamanya di Riau, Sumatera Selatan, dan sedikit di wilayah Kalteng.
“Lahan gambut di Kalimantan Tengah sekitar 3,01 juta hektare (ha). Yang sudah rusak atau terdegradasi sekitar satu juta hektare di lahan eks PLG. Bila lahan gambut tak terdagradasi yang tersisa tak dijaga, maka akan turut memengaruhi iklim secara global,” tuturnya.
Direktur WII Kalteng mengutarakan, gambut yang kering akan mudah terbakar. Kebakaran menghasilkan gas karbondioksida (CO2). CO2 seperti diketahui merupakan salah satu gas rumah kaca yang merusak lapisan ozon (O3). Ozon yang terbuka menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.
“Gas rumah kaca tak hanya disebabkan kebakaran, tetapi juga hal lainnya seperti industri dan emisi kendaraan bermotor,” imbuhnya.
Karena itu, kata Alue, tindakan nyata sehari-hari yang bisa dilakukan adalah menggunakan kendaraan bermotor yang tak melepas emisi berbahaya bagi lingkungan. Atau, tindakan lainnya seperti tersebut di atas.
“Jadi, pengendalian hidrologi sangat penting untuk menjaga kawasan gambut. Tentunya upaya tersebut dilakukan bersama-sama, tak hanya satu atau dua pihak,” pungkasnya. (def)

No comments:

Short Interview with a Tourist from Australia on Pulau Padar NTT

On 7th July 2022 I visited Pulau Padar (Padar Island), one of the Islands in the Komodo National Park in Nusa Tenggara Timur Province. Pulau...